Midnight Air

9.3K 293 1
                                    

Sebuah pesan masuk ke handphone ku pagi ini. Dion akan menemani ku mengunjungi Azia. Aku pun sudah berdandan rapi dan cantik dengan blouse hitam, jilbab putih, dan celana katun berbentuk jeans yang tak terlalu ketat. Aku juga memakai wedges putih ku. Jadilah aku hari ini menjadi hitam putih.

Tak lama, aku merasa seseorang mengetuk kamar hotel ku. Benar saja, itu Dion dengan penampilan kerennya.

Kami berjalan sejajar, menuju parkiran luar. Dion membuka pintu mobilnya untukku. Sungguh perlakuan yang manis. Aku tersenyum padanya.

"Kita mau kemana?" Tanyaku.

"Kamu mau nya kemana?" Tanyanya balik.

"Ng, entahlah. Aku merasa ingin pergi ke pantai dan Diving," Jawabku.

"Hm. Diving ya. Kalau di jawa sih kurang seru. Eh, gimana kalau kita ke pulau putih aja?" Dion terlihat antusias.

"Pulau putih?" Gumamku penasaran.

"Iya, pulau di Sumatra Utara sana."

"Jauh banget," Cibirku.

Dion terkekeh. "Nanti kapan-kapan kalau kamu mau deh kita ke sana. Sekarang, kita ke rumah Rifa sama Azia dulu."

"Eh, iya ya aku lupa." Aku tertawa samar.

Perjalanan terasa sangat lama saat aku bersama Dion. Entah kenapa aku berdebar-debar. Memang benar, aku ini seperti gadis remaja saja. Buktinya aku gampang jatuh cinta. Apa akhir tahun seperti ini membuatku gila ingin menikah? Aku menyukai dua pria. Astaga, ini sangat gila.

"Kita sudah sampai."

Suara Dion membuang lamunanku. Hah!

"Sudah sampai ya?" Tanyaku bego.

"Ayo turun."

Aku membuka pintu dan melihat rumah mewah dua tingkat minimalis. Ini rumah Rifa dan Azia?

"Zia! Kamu kenapa sih?"

Aku menoleh mendengar suara Rifa yang terdengar frustasi.

"Aku marah sama kamu mas! Istri nya lagi hamil malah mesraan sama wanita lain! Kalau tahu gini, aku mau cerai!"

Aku terperangah, begitu juga Dion. Di depan kami, Zia dengan koper besar dan juga perutnya yang sedikit besar, menangis tersedu. Sedangkan Rifa menatap istrinya takut, cemas, khawatir, tak rela. Bercampur menjadi satu.

"Zia, kan aku bilang! Dia bukan siapa-siapa aku. Dia cuma rekan kerja ku," Teriak Rifa lagi. Kini mukanya memerah menahan air mata.

Adegan apa ini?

Rifa masih mencengkram lengan Zia. Tak lama mereka berpelukan dengan Zia yang memukul dada Rifa. Ada apa sih sebenarnya?

Mereka tak menyadari kehadiran ku dan Dion karena halaman rumah ini sangat luas, sehingga mereka juga kelihatan jauh dari sisi pandangku dan Dion. Tak lama, Zia melepas Rifa. Ah, aku ingat kejadian ini. Samakah dengan diriku? Tapi... bukan aku yang meminta cerai.

"Tera."

Aku mendongak ke arah Dion. Mungkin dia menyadari keanehan diamku ini. Dia menarikku pelan agar berjalan menemui Rifa dan Zia yang sedang di landa permasalahan rumah tangga. Rifa selingkuh?

"Hei," Panggil Dion kepada pasangan di depan kami.

"Ah, Dion?" Rifa terkejut.

"Ada apa nih?" Tanya Dion.

"Eh itu..."

"Tera?"

Aku menoleh karena mendengar suara Zia. Rupanya dia baru sadar dengan kehadiranku. Dia langsung memelukku dan menangis lagi.

"Kamu jahat! Sombong! Udah nggak inget lagi sama temen-temen! Apalagi aku, aku kan sahabat kamu."

Aku tersenyum dan semakin erat memeluknya.

Dia mengajakku ke dalam. Melupakan soal cerai nya dan Rifa tadi. Dan mengalirlah obrolan-obrolan kami. Ku lihat raut wajah Zia dan Rifa ketika mereka tahu aku sudah bercerai. Aku menceritakan kepada mereka. Aku butuh tempat berbagi yang banyak sekarang. Aku tidak sanggup jika harus memendam sendiri dan hanya berdiam diri. Itu sangatlah bodoh.

Aku pikir aku bisa bahagia. Tapi nyatanya hanya tangis yang kudapat dari Reto. Dulu... dia melamarku dengan cara yang manis. Sekarang... dia menceraikanku dengan cara yang... yang... ah, aku tak tahu apa yang harus di deskripsikan. Dia hanya melemparku dua lembar kertas cerai dan hak anak. Juga tak lupa pena nya menyentuh pipi ku, terkena lemparannya.

Menangis dan berdiam diri. Apalagi kini dia sudah sangat membenciku. Dan... anakku juga. Anakku! Ya anakku! Aku ingat anakku yang sekarang sudah besar. Aku merindukannya, sungguh. Aku menginginkannya lagi, Tuhan. Bagaimana aku bisa melupakan anakku sendiri?

-

Aku tahu, aku telah jatuh hati pada Rendy seiring kebersamaan kami. Cuma aku tak pernah menyadarinya. Dan saat melihatnya bersama perempuan lain, barulah perasaan itu hadir. Aneh memang.

Aku tak mengerti, kenapa tiba-tiba dia hadir. Mengetuk pintu kamar hotel ku dan tersenyum ramah. Rasanya menyakitkan, dia berdamping dengan Shilla.

Dan sekarang, kami sedang duduk bertiga di restaurant dekat hotel. Rupanya Shilla yang memberi tahu Rendy keberadaanku. Aku hanya bisa pasrah. Kenapa ini harus terjadi? Bukankah aku berusaha untuk move on?

"Bu Tera, mau pesan apa?" Tanya Rendy dengan senyum yang benar-benar ramah.

Aku heran, dia sama sekali tak menanyai alasan ku ke Bandung dan meninggalkan kantor. Lagipula aku baru dua hari di sini!

"Ng... macchiato cream saja," Jawabku lesu. Hah...

"Kak, aku bingung deh kok kakak ke sini? Terus kantor di atur kak Refa," Kata Shilla cemberut. Rendy tertawa melihat mimik imut Shilla.

Deg, rasanya tuh kayak di remas-remas. Mereka malah bermesraan di hadapanku tanpa malu. Tapi aku merasa sedikit aneh dengan lirikan Rendy padaku. Dia seperti... sengaja. Oh ya?

"Eh, kak. Aku sama kak Rendy mau tunangan, lho."

Terpaku, diam, terkejut, dengan jantung berpacu cepat. Seperti tersetrum listrik 500 volt. Aku merasa bodoh dengan senyum kaku ku ini. Hanya... bisa menangis dan berdiam diri.

"Oh ya? Selamat deh." Aku memasang wajah palsu ku kali ini.

Lalu, apa hari-hari selanjutnya aku harus begini lagi? Aku... butuh tempat. Tempat untukku berkeluh kesah dengan tangisan dan diamku. Mungkin kali ini tidak dengan seseorang. Aku bisa mencari tempat sepi yang nyaman, mungkin?

Lagi, Rendy menatapku lekat-lekat. Shilla tak menyadari hal itu. Aku merasa aneh dengan tingkah Rendy kali ini. Kenapa dia?

Midnight LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang