Derald lebih memilih diam daripada memberikan kepastian pada gadis polos satu ini. Jujur saja ia takut jika nanti Lily akan semakin terluka. Derald ingin melindunginya dengan segala cara walaupun ia harus menyembunyikan perasaannya seorang diri.
"Dei! Kok, diem?" tanya Lily. “Dei mikir apa?”
Derald menghentikan langkahnya, lalu menolehkan kepalanya ke belakang. "Ly, apa pun yang terjadi gue mau kita tetep kayak gini. Kalau lo tanya gue sayang apa enggak sama lo, maaf gue belum bisa jawab," ucap Derald lalu membenarkan kembali posisi tubuh Lily yang turun beberapa senti.
"Asal Dei tahu, tanpa diminta pun Lily akan selalu ada buat Derald," batin Lily.
Kaki jenjang milik Derald terus menelusuri jalan trotoar berdebu sambil menggendong Lily. Senandung merdu dari mulut mungil milik sang gadis terus terdengar indah menembus gendang telinganya.
Dia sangat bersyukur dapat bertemu Lily. Jikalau reinkarnasi itu nyata, Derald hanya memiliki satu harapan pada Tuhan agar dipertemukan dengan Lily kembali pada kehidupan berikutnya.
Tidak terasa kini mereka telah sampai di rumah tempat Lily tinggal. Ukuran rumah Lily memang tidak terlalu besar, tetapi kehangatan rumah itu tidak pernah gagal membuat setiap orang iri. Dinding kokoh rumah dilapisi oleh cat berwarna biru dipadukan hijaunya tanaman membuat rumah sederhana itu tampak asri.
"Yeah akhirnya sampek!!" Suara Lily yang menggelegar bak anak taman kanak-kanak membuat Derald mengernyitkan wajahnya. Derald bahkan heran apakah anak seantusias ini pingsan beberapa jam yang lalu.
"Jangan teriak juga kalik Ly, telinga gue kasihan dengernya," protes Derald.
"Ih ... ya maaf," cicit Lily.
"Ya, udah turun. 'Kan udah sampai." Perlahan Derald berjongkok agar Lily dapat turun dengan mudah. Kaki Lily menapak pada permukaan tanah dengan lompatan pelan. Setelah yakin posisi Lily sudah stabil, Derald berdiri.
"Dei, nggak mau mampir dulu?" tawar Lily sementara Derald merapikan kembali seragam yang sempat sedikit kacau.
"Enggak, gue langsung pulang aja," jawab Derald. Ada keinginan tersembunyi di hatinya. Tetapi agar Lily tidak semakin terluka, Derald mengurungkan niatnya.
"Yakin?" ulang Lily memastikan. Lily tentu bisa melihat tatapan Derald ke arah rumahnya yang memendam suatu keinginan tersembunyi.
Derald membuat satu langkah kecil ke dekat Lily, senyumannya kembali tampil menghiasi wajah tampan miliknya. Entah sudah berapa kali Lily melihat senyuman yang selalu hadir dalam benaknya hari ini, jika saja ia punya sayap mungkin gadis satu ini bisa terbang tanpa membutuhkan energi saking bahagianya.
Salah satu tangan Derald mulai mendarat di permukaan kepala Lily, spontan mata Lily melirik ke atas. Namun, saat mata itu baru saja menaikkan irisnya tangan Derald dengan cepat mengacak-acak deretan anak rambut miliknya. Melihat aksi Derald seketika Lily bersungut.
"Ih, Dei ... jadi berantakan nih rambut Lily, entar kalau Lily disangka orang gila gimana?" protes Lily kesal. Lily meraih rambutnya untuk merapikan kembali rambut yang sempat teracak.
Melihat ekspresi Lily tadi sungguh merupakan hiburan tersendiri untuk Derald, ia malah terkekeh kecil saat gadis polos satu ini menyuarakan aksi protesnya.
"Nggak papa, biar nggak ada yang ambil. Kalau lo kelihatan cantik yang naksir banyak tapi kalau kayak gini, cuma gue yang mau ada di samping lo," ucapan Derald yang begitu manis seketika mampu membuat jantung Lily berdebar hebat, pipinya langsung memerah seperti orang yang menggunakan perona wajah.
"Dei, jangan gitu. Kalau Lily baper gimana?" tanya Lily salah tingkah.
"Ya nggak papa, lagian nggak ada UUD yang menjelaskan kalau lo dilarang baper," jawab Derald enteng.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATMOSFER [END]
Teen FictionDalam kehidupan semua orang memiliki hak untuk memilih jalan hidup mereka masing-masing. Namun, bagaimana jika seorang ayah menentukan seluruh jalan hidup anaknya? Itulah hal yang dialami seorang pemuda bernama Derald Atropedha Vernando. Remaja tid...