Kebenaran

100 15 0
                                    

“Untuk Aden Derald.” Baca Lily.

Karena rasa penasaran yang tinggi Lily pun membuka setiap lipatan surat itu dan mulai membaca isi surat itu.

Tulisan tak beraturan milik Bi Surtih menyapa penglihatan Lily. Meskipun demikian, surat tetap bisa dibaca. Setiap kata dan kalimat yang tertulis di surat membuat Lily semakin penasaran. Sampai di bagain akhir, Lily harus menutup mulutnya demi menyembunyikan rasa terkejut.

Maafkan Bi Surtih yang tidak bisa menjaga Aden lagi. Terima kasih sudah memberi kesempatan ke Bi Surtih buat bekerja untuk keluarga Den Derald, setidaknya bisa mengurangi penderitaan Aden saja Bi Surtih sudah bersyukur.

Bi Surtih selalu bimbang untuk memberitahu aden tapi sekarang sudah tidak ada pilihan lain. Den, Nyonya masih hidup. Beliau sekarang dijaga ketat di RSJ Cahaya Bunda di pojok kota, kamar nomor 205.

“Jadi ...,” lirih Lily. Gadis itu kehilangan kata-kata beberapa saat. “Ibunya Dei masih-- masih hidup?”

Saat itu Lily makin tersadar betapa kejamnya si iblis Rajendra. Tidak hanya menyiksa darah dagingnya sendiri dengan serangan fisik serta caci-maki rutin melainkan menyembunyikan orang yang paling dicintai Derald. Membuat berita palsu bahwa mamanya Derald telah mati.

***

“Sudah tamak, serakah, tega menyiksa keturunannya sendiri!” sahut Derald.

“Apa kata media ketika sampai mengetahui sifat sejati pengusaha sukses Rajendra ini? Asal anda tahu, pedagang kaki lima pun seratus kali lebih baik ketimbang anda!”

Plak!

Rajendra menampar Derald untuk kesepuluh kalinya malam itu.

“Kau masih berani?! Kau berani berkata begitu pada saya?! Hah, kau yang sudah mengambil saham saya masih mau melawan, ya. Memang anak tidak tahu diri kamu!” murka Rajendra.

Wajah Rajendra memerah bagai tomat saking banyaknya darah yang naik ke kepala besarnya. Matanya tajamnya juga tak luput ikut memerah karena terlalu banyak lembur kini melotot. Rambut yang selalu tersisir rapi dan kemeja mahal yang lengannya tergulung hingga bawah siku sekarang berantakan.

Derald sudah tidak peduli mana yang salah mana benar, apakah itu baik atau buruk, mana warna hitam mana warna putih. Karena sekarang dia hanya berpikir cara untuk membalaskan dendam yang terkubur bertahun-tahun. Rajendra pantas mendapatkannya.

“Ini terakhir kalinya saya akan berurusan dengan anda, Tuan Rajendra terhormat!” Derald mengirimkan tatapan paling tajam.

“Kalau anda mengusik hidup saya lagi, maka andalah yang mendapat balasan lebih kejam dari saya!”

“Saya kau balas? KAU? Seorang potongan sampah sepertimu?! Hah, otakmu juga sudah melenceng!” Lengan Rajendra yang menunjuk Derald sampai gemetar saking marahnya. Pembuluh darah pun tercetak begitu jelas.

“Saya? Sampah? Kalau sampah bisa menang olimpiade peringkat pertama, mungkin kosa kata anda memang sudah menipis. Anda terlihat tua sekarang. Apa anda mulai kehilangan ingatan?” cecar Derald.

Revano yang sedari tadi melihat dari sudut ruangan hanya bisa mengontrol pernapasan dan menggertak 'kan gigi. Kedua tangannya juga mengenggam erat seolah ingin mencengkeram sesuatu.

“Lo nggak pernah bersyukur ya, Derald?! Sudah diberi saham oleh Papa masih beraninya melawan!” Vano akhirnya terjun juga ke medan pertempuran.

Derald membuka mulut untuk membalas tetapi Rajendra sudah terlebih dahulu memotongnya.

“Tidak, Revano. Saya tidak mengakui pembuat onar ini sebagai anak saya lagi!” marah Rajendra. Vano menelan ludah. Keringat terbentuk di ujung pelipis putra sulung itu.

ATMOSFER [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang