Rumah Sakit

106 21 1
                                    

Mata coklat terang itu tiba-tiba terbuka, disertai hembusan napas berat tanpa irama. Si pemilik menarik napas panjang lalu mengembuskannya. Perlakuan kejam Alfarellza, ponsel yang secara misterius menghilang lalu ditemukan Vano, fitnahan Sandra dan Rajendra, serta pukulan bertubi-tubi yang mengikuti. Pukulan di raga dan juga batin.

Derald kini kembali harus terbaring di bangkar rumah sakit setelah kejadian fitnah Sandra dan pukulan Rajendra. Tapi yang paling Derald benci, kenapa harus rumah sakit? Mengapa Rajendra yang sudah jelas membencinya tidak sekalian membunuhnya saja? Tidak sekalian saja ia di kirim ke Tuhan. Setidaknya dia akan bertemu Mamanya di sana. Sosok yang sangat ia cintai dan rindukan.

Tapi apa yang dia pikirkan, berharap mudah lepas dari kedua iblis ... bukan, ketiga iblis yang mengusik hidupnya? Itu mustahil, bahkan sampai ia sekarat ketiga iblis itu akan tetap membuatnya menderita.

Derald yakin, selamanya dirinya tidak akan bahagia. Andaikan saja mamanya masih ada, ya andai saja.  Begitu kejam para iblis itu hingga tidak ingin Derald bertemu mamanya lagi.

"Mama, badan Derald sakit," lirihnya.

Mata coklat itu kembali terpejam pedih. Merasakan setiap luka yang mulai mengering. Ia benci papanya, benci kakaknya, apalagi ia sangat membenci Sandra. Karena perempuan ular itu membuatnya harus terbaring di sini. Terbaring sendirian, kesepian, dan tersiksa oleh rasa kebencian. Berada di antara hidup dan mati.

"Tuan Muda," panggilan tiba-tiba itu membuat Derald kembali membuka matanya. Salah satu bodyguard sang papa berdiri di sana. Seragam hitam itu terlalu familiar baginya.

"Hm??" tanya Derald, terlalu lelah bahkan untuk berbicara.

"Tuan Besar mengatakan pada saya, Tuan Muda harus berusaha sembuh sebelum tiga hari ke depan. Tuan muda harus kembali belajar untuk olimpiade," ucap sang bodyguard.

Lihat, bahkan papa iblisnya itu tidak mengizinkan Derald istirahat dengan cukup setelah apa yang ia perbuat. Pria tua yang ambisius dan berhati batu. Sial! Kenapa darah pria itu mengalir dalam dirinya.

"Kau boleh pergi," suruh Derald datar.

"Baik, Tuan Muda. Saya pemisi.” Bodyguard itu menunduk, lalu keluar dari ruangan Derald dan berjaga di depan.

"Maaf Ma, untuk kali ini Derald gak bisa nggak benci papa dan semuanya," ucapan Derald pada dirinya sendiri setelah memastikan bodyguard itu ada pada jarak aman.

"Gue harus lepas dari ini semua."

***

Lily melongokkan kepalanya pada kelas XI-MIPA 5. Menatap setiap orang yang masih ada di dalamnya. Ia sedang mencari Derald, entah mengapa ia merasa ada sesuatu yang tidak beres di sini dan benar firasatnya, Derald tidak ada. Kemana laki-laki itu, tak biasanya dia berkeliaran saat jam istirahat.

"Ketemu, Ly??" tanya Aileen. Dia sedang bersedekap dada disamping daun pintu. Menunggu teman anehnya itu.

"Derald nggak ada, Aileen," jawab Lily pada sahabatnya itu.

"Loh, gue yakin Derald gak bakal bolos. Anak cupu—"

"Aileen," peringat Lily tak terima. Sontak Aileen meringis, ia merutuki mulutnya yang asal bicara.

"Maaf Ly, kalau menurut gue orang kayak Derald gak mungkin deh kalau bolos," ucap Aileen. Lily mengangguk, tanpa mengeluarkan suara.

"Terus dia kemana dong?" tanya Lily.

"Jangan-jangan dia sakit lagi?" ucap Aileen balik bertanya.

"Coba lo telpon Ly!!" lanjut Aileen. Sontak Lily langsung mengambil HP pada saku roknya.

ATMOSFER [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang