Musik adalah Darahku

97 24 3
                                    

Teng ... teng ... teng ....

Bunyi bel istirahat pertama terdengar begitu nyaring hingga ke pelosok kelas. Para siswa-siswi langsung berhamburan menuju ke kantin, tempat dimana mereka bisa sepuasnya mengisi perut. Namun, dengan catatan membayar sendiri.

Kini di sebuah kelas hanya ada seorang cowok yang berdiam diri dengan segala pikirannya. Kepalanya dia tengelamkan dalam lipatan tangan, malas rasanya pergi ke kantin jika pada akhirnya hanya mendapatkan cemoohan dan bully-an dari geng Alfarellza.

Derald sedang bergelut dengan pikirannya sendiri, entah apa yang menjadi topik pemikirannya sekarang. Rasanya kepalanya seakan ingin meledak seperti bom bunuh diri. Namun, dia hanya bisa diam dan diam. Seandainya ada Lily di sampingnya saat ini. Sudah dipastikan gadis polos itu sudah bercerewet dan menanyakan segala hal.

Mengapa tiba-tiba Derald berpikir tentang gadis menyebalkan itu?

Dia menggelengkan kepalanya berulang kali, berusaha menghalau segala pemikiran buruk. Namun, tetap ada satu kalimat yang terlintas di kepalanya.

Apakah ia mulai jatuh cinta dengan Lily, gadis polos nan menyebalkan itu?

Tapi atas dasar apa? Bukankah cinta memiliki tahapan. Tahapan untuk meraih cinta sebenarnya. Tahapan suka, nyaman, sayang, dan terakhir adalah cinta. Derald yakin dia tak ada satupun diantara keemapatnya. Tapi mengapa, ia malah terbayang gadis polos itu.

"Argh ... bisa pecah kepala gue kalau mikirin gadis tengil itu!" geram Derald dengan dirinya sendiri.

"Hai Dei."

Belum juga semenit ia memikirkan gadis menyebalkan itu, tapi Lily seakan seperti jelangkung. Memecah derasnya pikiran, datang tiba-tiba dengan segudang kepolosannya, membuat siapa saja semakin geram dibuatnya.

"Ngapain ke sini? Mau ngerecokin lagi?" tanya Derald dengan wajah datarnya, dan entah kenapa gadis di depannya itu justru terkekeh sendiri. Mungkin Derald kapan-kapan harus memeriksakan Lily ke rumah sakit jiwa.

"Lo gila?" tanya Derald, memastikan anak satu ini memang benar waras sebelum kembali berinteraksi dengan wajah menggemaskannya.

"Lily nggak gila ya Dei, Lily seneng aja bisa lihat Dei kesel," ujar Lily dan sekarang semakin membuat seorang Derald gemas.

Ingin rasanya pemuda itu mencubit pipi chubby Lily lalu memasukkan Lily ke tepung dan menggorengnya di wajan dengan minyak panas.

"Lily tau kok kalau Lily ngegemesin, tapi ya nggak usah dipandangin mulu!" Dia memegangi pipinya yang sudah blushing. Sejak kapan Lily bisa se-percaya diri ini? Oh, Derald tahu, ini pasti sejak masih di rahim.

"Sekarang lo mau ngapain, Lily?" tanya Derald dengan sesabar mungkin, menghadapi Lily memang membutuhkan kesabaran yang sangat ekstra. Seperti mengurus bayi namun, bedanya Lily itu lebih besar tapi pendek.

"Lily mau ngajak Dei ke suatu tempat!" ujar Lily membuat Derald mengeryitkan dahinya tidak paham.

"Kemana?"

"Ke suatu tempat yang bakalan bikin Dei seneng dan tentunya bisa ngehilangin penat!" ujarnya dengan semangat.

"Tapi sebelum itu, Dei makan ini dulu." Ia meletakan kotak bekalnya di depan Derald.

"Ini apa?" tanya Derald.

"Makanan."

"Iya, gue tau kalau ini makanan, maksud gue, buat apa lo ngasih gue makanan? Emangnya lo nggak lapar?" tanya balik Derald dan gadis itu hanya tersenyum.

"Lo gila Ly!" ucap Derald sekali lagi.

"Lily nggak gila ya Dei, Lily udah kenyang, tadi makan bakso beranak di kantin sama Aileen," ujar Lily.

ATMOSFER [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang