Plester Luka

158 24 10
                                    

Pagi yang suram kali ini jatuh pada Derald sang good boy. Hal ini dikarenakan kemarin abang serta papanya pulang. Jangan lupakan cacian dan hinaan yang tak pernah berhenti keluar dari mulut mereka. Namun, Derald hanya bisa sabar dan menerima.

Bagi dirinya cacian dan hinaan tidak ada artinya apa-apa karena sejak ia kecil, hal itu sudah biasa mereka lontarkan untuknya. Bukan hanya di rumah bahkan di sekolah pun sama, sebenarnya ia tidak pernah mencari masalah hanya saja abangnya terlalu mudah untuk membodohi Derald.

"Gitar lo, buang ajalah!" ucap Relvano atau biasa dipanggil Vano-kakak kandung dari Derald.

"Gak guna, percuma!" lanjutnya dengan memandang remeh ke arah Derald.

"Derald mau sekolah, Abang pergi aja!" balas Derald, dia bahkan sedikit mengeser badan Vano ke samping.

"Ck ... anak kayak lo itu lemah! Lo itu nggak pantes buat sekolah, mending lo di rumah aja daripada sekolah, tapi cuma bikin malu Papa!" cibir Vano membuat Derald mengepalkan tangannya.

"Gak berguna, kenapa sih Mama lebih sayang sama lo??" Terdengar nada iri di setiap kalimat yang Vano ucapkan. Ia memang iri terhadap Derald, sedari kecil Derald jauh lebih beruntung sebelum kejadian mengerikan itu terjadi.

"Derald mau sekolah, Bang!!" ucap Derald sekali lagi, ia masih kekeh dengan pendiriannya.

"Harusnya lo gak pernah lahir di dunia ini. Lo cuma bawa sial, dan sialnya perempuan yang lahirin lo itu sama aja, sama-sama gak guna kayak lo!!"

"Perempuan yang Abang bilang tadi itu Mama, Bang. Mama Abang juga," hardik Derald. Ia menekan setiap kata yang ia lontarkan.

Vano menatap Derald sinis, "Lo cuma pembawa masalah, sama kayak Ibu lo. Sejak dulu Mama, oh bukan, maksud gue perempuan itu bukan Ibu gue. Dia cuma Ibu lo, dia gak pernah berperan jadi Ibu buat gue," ucapnya dengan sinis. Ada nada yang terdengar tidak ikhlas, Derald tahu itu.

"BANG!!" tegas Derald dengan nafas naik-turun. Tangannya sampai memutih karena terlalu keras menahan emosinya.

Vano keterlaluan, bagaimana bisa wanita yang sudah melahirkannya dianggap bukan lagi ibunya. Pantaskah Vano menyandang anak durhaka? Ia boleh sakit hati, tapi harus ditekankan lagi bahwa Asyilla adalah ibunya, wanita yang melahirkan Vano dan Derald.

"Apa? Lo udah berani bentak gue?! Lo itu cuma sampah dan seharusnya Papa udah buang lo sejak dulu!" ucap Vano dengan nada bicara yang meremehkan.

"Bang, udah cukup!"

"Lo boleh hina gue, tapi lo nggak boleh hina Mama!" ujar Derald dengan nafas yang memburu.

Plak ....

Tiba-tiba saja sebuah tamparan yang keras mendarat di pipi Derald yang tirus. Sontak saja pemuda itu memegangi pipi bagian kananya, sudah biasa ia mendapatkan hadiah tiba-tiba dari Rajendra. Ya, dialah yang menampar Derald tanpa belas kasih.

"Dasar anak tidak tahu diuntung?! Berani kamu bentak-bentak anak saya?!" teriak pria paruh baya itu dengan suara yang meninggi.

"Ma-maaf Pa." Derald menundukkan kepalanya, ia tidak berani menatap wajah Rajendra.

"Siapa anda yang berani membentak anak saya hah?!" Teriak Rajendra sambil menarik kerah baju Derald.

"Apa yang di bilang anak saya benar! Anda hanya anak pembawa sial!" Teriak Rajendra lagi di depan wajah Derald.

"Bodohnya wanita itu melahirkan anak sial sepertimu! Seharusnya anda tidak pernah lahir di dunia ini! Kedatangan anda hanya membuat keluarga saya sial!"

ATMOSFER [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang