Derald menghela napas berat. Dia sekarang berada di depan rumahnya. Rumah yang bagaikan neraka yang tidak surut dengan dukanya. Tadi setelah pulang belajar bersama Lily dia hendak pergi saja atau bisa dibilang kabur. Namun, dia berubah pikiran karena dia tak memiliki tempat lain selain di sini.
"Semoga tidak se-menderita kemarin," gumam Derald lelah.
Namun, sepertinya doanya tidak terkabul. Baru saja kakinya memasuki ruangan, tiba-tiba saja suara Vano sang kakak sudah membuat langkahnya terhenti.
"Bagus ya keluyuran? Tugas lo itu di rumah belajar, biar gak bego," ucap Vano dengan nada sinisnya.
"Gue baru pulang belajar bang, belajar bareng," jawab Derald seadanya.
"Oh bisa berduaan sama tuh cewek polos? Haha ... basi. Emang belajar sendiri nggak bisa?" tanya Vano lagi.
"Derald cuma mau pintar dan buat Papa bangga Bang," ucap Derald bagaikan angin lalu di telinga Vano.
"Cih, otak udang kayak lo nggak bakal bisa buat papa bangga," ucap Vano tajam.
Terkadang Derald bertanya dalam hati, apakah yang sudah ia perbuat sehingga Papa dan kakaknya selalu gemar menyiksanya. Jika Derald adalah kesalahan saat dia dilahirkan, itukan juga bukan kemauannya. Tapi kenapa seakan dia orang yang bersalah dan pantas dihukum di sini.
"Sekarang, lo ambilin gue minum, cepet!" suruh Vano, Derald pun hanya bisa menganggukkan kepalanya menurutinya.
Tak lama kemudian Rajendra datang. Hal itu menambah beban untuk Derald. Kata orang, orang tua adalah panutan kita. Tapi apa Derald harus mengikuti sifat kejam papanya itu. Andaikan saja mamanya masih ada di dunia ini.Mungkin Derald akan mengajaknya lari dari papanya dan hidup berdua bersama. Tak apa sederhana, tetapi bahagia. Bukan punya banyak harta yang bahkan mirip percikan api neraka di setiap sudutnya.
"Apa anak itu membuat ulah lagi, Vano??" tanya Rajendra.
"Dia baru selesai belajar, Pa. Tentu saja belajar di luar, tidak bentah mungkin di rumah," kompor Vano.
Sedangkan Rajendra hanya menganggapnya dengan berdahem. Tidak peduli kalau pun Derald mau mati sekalipun yang terpenting baginya Derald belajar. Karena dengan belajar, anak itu menjadi lebih berguna.
"Ambilkan saya kopi sekalian!" suruh Rajendra saat punggung Derald hendak melangkah jauh ke dapur.
"Iya," jawab Derald singkat.
Dengan segara tangan dan kakinya itu melangkah ke dapur. Dia tidak mau kena marah lagi oleh Rajendra dan kakaknya. Bagi Derald menghindari masalah adalah yang kini harus ia lakukan. Luka dari papa dan kakaknya kemarin belum sembuh benar. Dia juga tidak mau self-harmnya kembali muncul.
"I-ini," ucap Derald gugup ketika menyajikan kedua minuman itu dari nampan.
Pyar ....
Namun, berkat kegugupannya itu. Gelas yang dia pegang harus tumpah mengotori baju kantor mahal milik Rajendra. Derald hanya bisa pasrah, ketika Rajendra hendak memarahinya.
"DASAR ANAK TIDAK BERGUNA, KAMU KOTORI BAJU MAHAL SAYA," teriak Rajendra murka.
"Ma-maaf Pa, Derald gak sengaja," cicit Derlad pelan.
"Dendamkan lo sama papa? Pasti lo sengaja!" kompor Vano.
"Derald beneran gak sengaja Pa, bang!" bantah Derald.
Namun, Rajendra yang sudah terbakar emosi langsung memukul Derald membabi buta. Dia berhasil membuat wajah tampan Derald menjadi babak belur karena ulahnya. Tetapi dengan santainya dia kembali berdiri tegak, merapikan bajunya. Kemudian ia memandang darah dagingnya itu sinis.
"Inilah alasan kenapa saya tidak menyukaimu, kamu sepertinya. Lemah, pecundang, bodoh, dan tidak tahu diri."
Setelah mengatakan itu Rajendra langsung meninggalkan Derald dengan Vano begitu saja. Akan tetapi sebelumnya dia menyuruh Vano untuk menyuruh Derald tidur di gudang belakang rumah mereka.
"Ikut gue!" Vano langsung menyeret tubuh lemah itu bagai binatang. Kemudian menghempaskannya untuk masuk kedalam gudang pengap itu.
"Nikmati malammu bersama tikus menjijikan itu," ucap Vano sinis.
Brak ....
"Tuhan, Derald rindu Mama." Setelah itu semuanya gelap, Derald pingsan di gudang kumuh menjijikan itu
****
"Pagiku cerahku matahari bersinar kugendong tas ...."
"Aduh sakit Bun!" ringis Lily yang sedang nyanyi lagu anak TK, tiba-tiba kepalanya dipukul dengan sendok makan oleh bundanya.
"Makanya Ana kalau di meja makan itu jangan nyanyi, bukannya baca doa malah nyanyi," semprot Bundanya, Ana panggilan masa kecil Lily.
"Hehe maap bun," cengir Lily.
"Sudah sekarang makan!" tegas Ayah Lily.
****
"Aws ....” ringis Derald saat dia sadar dari pingsannya, seluruh tubuhnya rasanya sakit semua.
"Eh Den Derald sudah bangun?" tanya Bi Surtih, pembantu keluarga Vernando.
"Iya Bi," jawab Derald lemah.
"Den bangun dulu yuk, ini bibi sudah buatin bubur buat Den Derald," ucap Bi Surtih sambil menaruh nampan yang ia bawa ke atas nakas.
"Aws- iya bi," ringis Derald sambil memosisikan dirinya duduk.
"Sini atuh bibi bantu." Bi Surtih berjalan ke sisi ranjang Derald dan membantu Derald duduk dengan benar.
"Emh Bi siapa yang pindahin Derald ke kamar?" tanya Derald saat ia mengingat kejadian kemarin malam.
"E--emh itu Den, Pak Mamat," jawab Bi Surtih dengan gugup, Pak Mamat adalah satpam keluarga Vernando.
"Emang Pak Mamat tahu kalau Derald dihukum Papa?" tanya Derald sambil memakan bubur yang disodorkan bi Surtih.
"Kemarin bibi liat Den Derald di seret Den Vano ke gudang, terus pas Den Vano dan tuan tidur, bibi panggil Pak Mamat ke gudang," jelas Bi Surtih.
"Makasih ya bi," ucap Derald tulus.
"Gak usah bilang makasih atuh Den ke bibi, bibi sudah anggap Den Derald anak bibi sendiri," ucap Bi Surtih sambil mengelus rambut Derald sayang.
"Bi," ucap Derald lirih,saat bi Surtih ingin beranjak ke luar.
"Ya Den?" Tanya bi Surtih sambil menghadap anak majikannya itu.Saat Bi Surtih menghadap Derald, tiba-tiba Derald memeluk Bi Surtih dengan erat.
"Makasih ya Bi, sudah selalu ada disisi Derald, karena bibi Derald masih bisa ngerasain kasih sayang seorang ibu, Derald sudah anggap bibi sebagai ibu Derald hiks ...." Derald menangis? Ya Derald menangis lagi.
"Udah Den, mending Den Derald siap-siap berangkat sekolah, tuh sekarang sudah jam 06.05," ucap Bi Surtih sambil mengelus kepala Derald sayang.
"I--iya Bi," jawab Derald dengan suara bergetar.
"Bibi tunggu di bawah ya Den," ucap Bi Surtih sambil mengambil nampannya lagi.
****
Dengan tertatih-tatih Derald melangkah memasuki gerbang sekolahnya. Wajahnya yang dipenuhi banyak bekas luka akibat pukulan Rajendra semalam sontak mengundang banyak pasang mata yang memperhatikannya, tapi Derald hanya menanggapinya dengan wajah datar.
Setelah sampai di kelasnya Derald menghela nafas berat. Dalam hati ia berdoa agar hari ini tidak ada masalah yang menghampirinya. Ia memohon kepada Tuhan agar di berikan waktu untuk beristirahat dari segala penderitaannya walaupun hanya sejenak.
Derald menelangkupkan kepalanya di atas meja kemudian memejamkan matanya. Ia ingin mengistirahatkan pikirannya dari segala masalah yang ada. Bagi Derald hanya di sekolahlah ia bisa menikmati sedikit ketenangan, walaupun akan tetap mendapat penderitaan akibat bullyian dari geng Alfarellza.
"Pagi Derald," sapa Lily dengan senyuman khasnya yang tak pernah hilang.
Baru saja Derald mencoba untuk menikmati ketenangannya tapi sudah diganggu dengan kehadiran gadis polos ini. Tidak bisakah gadis ini tidak mengganggunya untuk saat ini saja. Bukannya tidak suka dengan kehadiran Lily, dia tidak mau orang lain masuk lebih dalam dihidupnya.
"Ya ampun Derald, wajah kamu kenapa?" tanya Lily khawatir saat melihat wajah Derald yang penuh dengan luka.
"Gak papa," jawab Derald singkat. Tidak mungkinkan dia mengatakan bahwa luka yang ada di wajahnya ini akibat pukulan dari papanya.Walaupun Rajendra sudah bersikap kasar kepadanya tapi bagi Derald ia tetap orang tuanya, dan ia tidak mau papanya di pandang buruk oleh orang lain, walaupun mungkin Lily sudah tahu.
"Ini gara-gara kak Vano ya Dei atau gara-gara papanya Dei?" tanya Lily memperhatikan wajah Derald lekat.
"Bukan," jawab Derald cepat.
"Dei jangan bohong," ujar Lily dengan pandangannya yang masih terkunci pada wajah Derald.
"Gue gak bohong." Lily mengembuskan napas berat. Tidak bisakah sekali saja Derald bersikap terbuka kepadanya.Walaupun Lily tak bisa membantunya setidaknya Lily bisa menjadi pendengar untuk Derald mengeluarkan keluh kesahnya.
"Dei ke UKS yuk, biar Lily obatin luka Dei," ujar Lily lalu menggenggam tangan Derald dan membawanya menuju UKS. Derald pun hanya diam dan mengikuti kemana Lily membawanya.
"Dei duduk di sini dulu, Lily mau ambil P3K dulu," ujar Lily menuntun Derald agar duduk di kasur yang ada di UKS. Derald pun lagi-lagi hanya menurut, karna untuk menolak pun ia tak sanggup, karna kondisi badannya saat ini benar-benar sangat lemah sekali.
"Dei cara make obatnya gimana?" tanya Lily memperhatikan setiap obat obatan yang terdapat di dalam kotak P3K.
Derald memutar bola mata malas. Ternyata selain polos gadis ini juga bodoh, Apakah menggunakan kotak P3K sesulit itu sampai gadis polos itu tak bisa.
Akhirnya Derald pun dengan pelan memberitahu bagaimana cara menggunakan P3K kepada Lily. Kemudian Lily tersenyum dan menganggukkan kepalanya paham.
"Owh, gitu ya Dei. Oke-oke Lily bisa," Lily pun mulai mengobati luka-luka yang ada di wajah Derald dengan perlahan agar si empu tidak merasakan kesakitan.
"Ssstt," Desis Derald saat merakan perih di bagian luka yang sedang di obati oleh Lily. Refleks Lily pun memberhentikan gerakan tangan nya.
"Eh sakit ya Dei, maaf ya Lily gak sengaja padahal Lily udah pelan-pelan loh ngobatinnya supaya Dei gak kesakitan," ujar Lily dengan wajah khawatir.
"Hmmm ...." Dei hanya menanggapinya dengan daheman. Kemudian Lily pun kembali mengobati luka Derald. Tanpa Lily sadari Derald tersenyum tipis melihat Lily yang begitu telaten mengobatinya.
"Akhirnya selesai juga," ucap Lily dengan senyuman manisnya. Sesaat Derald terpana melihat wajah Lily yang tampak cantik jika di lihat dari jarak dekat dan ditambah senyuman manisnya.
"Makasih," ucap Derald mengalihkan pandangannya menatap dinding putih ruang UKS.
"Dei Lily boleh lihat tangan Dei gak?" tanya Lily dengan takut-takut. Derald menaikkan sebelah alisnya pertanda tak paham.
"Buat apa?" tanya Derald.
"Cuman mau liat aja tangan Dei ada lukanya juga apa gak," jawab Lily dengan hati-hati. Ia takut perkataannya akan menyinggung perasaan Derald.
Derald pun dengan perlahan menyodorkan tangannya ke arah Lily. Lily pun dengan sigap menerimanya dan memeriksa tangan Derald. Dia berharap tak menemukan luka seperti kemarin lagi di tangan Derald.
Tak lama memeriksa tangan Derald, Lily kembali dibuat menghela napas saat menemukan luka baru di tangan Derald. Dia pun segera meneteskan obat merah dan mengobatinya secara perlahan.
"Udah?" tanya Derald. Lily pun mengangguk.
"Kalau gitu lepasin tangan gue!" Refleks Lily dengan cepat melepaskan tangan Derald yang sedari tadi terus di pegangnya.
"Eh, Derald mau kemana?" tanya Lily saat melihat Derald yang turun dari brankar UKS dan beranjak pergi.
"Mau ke kelas, bentar lagi masuk," ujar Derald dengan terus melangkah menuju kelasnya. Namun tiba-tiba suara Lily menghentikannya.
"Dei, jangan luka lagi ya. Lily khawatir."
Setelah itu Derald tersenyum sekilas dan melanjutkan jalannya. Tak memedulikan Lily yang berjalan di belakangnya. Sampai akhirnya tiba di dekat kelas masing-masing dan akhirnya mereka berpisah.
"Thanks udah selalu ada buat gue," lirih Derald.******
MinSa baper🤧😭😭😭😭😭😭😭 Derald beruntung banget ada Lily, aihh🤧😭 Gimana part kali ini guys? Langsung komen + vote yoo😉💙
KAMU SEDANG MEMBACA
ATMOSFER [END]
Teen FictionDalam kehidupan semua orang memiliki hak untuk memilih jalan hidup mereka masing-masing. Namun, bagaimana jika seorang ayah menentukan seluruh jalan hidup anaknya? Itulah hal yang dialami seorang pemuda bernama Derald Atropedha Vernando. Remaja tid...