Malam semakin larut, tetapi Derald masih terjaga. Laki-laki itu masih setia dengan buku-bukunya. Sampai akhirnya dia merasakan tenggoro'kannya kering. Derald memutuskan untuk pergi ke dapur mengambil minuman.
Sunyi, itu kata yang pertama kali dicetuskan oleh otak Derald. Mungkin keluarganya sudah pergi ke alam mimpi. Keluarga? Apa dia masih punya? Bukankah, bagi Derald mereka hanyalah orang asing yang bahkan tidak pernah mendengarkan sedikit pun suaranya.
"Hah," helaan napas Derald setelah selesai menenggak satu gelas penuh air putih.
Derald pun berniat kembali ke kamarnya. Namun, sebuah bayangan dari ruang di sebelah dapur menghentikannya. Ruangan itu dulunya adalah kamar dari mendiang ibunya. Sekarang, papanya sangat melarang keras siapa pun memasukinya walau itu hanya sejengkal saja.
"Siapa yang malam-malam masih bangun?" tanya Derald pada dirinya sendiri.
Derald pun menghampiri bayangan itu. Ternyata seorang Revano sedang menatap dalam di pintu itu. "Kenapa? Nggak berani masuk?" sindir Derald.
Daksanya bersandar pada permukaan tembok, ia melihat wajah Vano terlihat kaget saat menyadari kehadirannya . Derald tersenyum sinis ketika Revano menatapnya. Tidak ada yang tahu isi kamar itu kecuali dirinya dan mamanya ataukah mungkin Papanya tau dan menyebabkan melarang keras ada orang masuk ke kamar tersebut?
"Terlalu patuh dan jadi budak papa, nggak buat lo jadi bodoh'kan Bang?" sindir Derald lagi. Dia tak peduli bahwa nantinya Vano akan marah dan kembali memukulnya.
"Ngapain lo ke sini?" tanya Vano sinis.
Derald tertawa tapi tawa yang sangat berbeda. "Gue nggak tau alasan lo benci banget sama gue apa? Tapi, menurut gue lo perlu tahu isi dalam ruangan itu."
"Emang apa yang perlu dilihat? Sampah?"
"Sampah?" Derald terkekeh. "Kalau di dalam sana adalah sampah berarti lo sampah itu."
Vano menatapnya tajam sedangkan Derald hanya menatapnya datar tanpa emosi sedikit pun. Baginya, menghadapi Vano yang seperti ini bukan hal yang baru. Bahkan ia sudah terbiasa dengan sifat kakanya yang sudah seperti boneka Rejendra.
"Mama sayang sama lo-"
"Bullshit!" potong Vano cepat.
"Mama sayang sama lo bang, tapi sayangnya papa nggak pernah bolehin mama buat memperlihatkannya!" sela Derald. Vano hanya diam membisu, sambil menatap pintu itu.
"Kalau nggak percaya, masuk aja ke kamar itu! Langgar perintah papa Bang! Nggak selamanya membangkang itu membawa petaka!"
Vano tetap diam, tanganya terangkat untuk membuka pintu itu. Namun, urung, didikan papanya yang keras membuat dirinya menjadi penurut dan pantang melanggar peraturan. Selama ini kehidupannya memang diatur oleh papanya. Tanpa campur tangan sang mama.
"Lo mau ngehasut gue untuk jadi anak pembangkang kayak lo?" tuduh Vano. Derald tak menggubris, baginya dituduh dan difitnah merupakan bagian dari kehidupannya.
"Gue emang pembangkang bang, tapi coba tanya sama diri lo sendiri. Apa pernah gue bohong? Bahkan gue saat difitnah gue tetap jujur,"
"Terserah lo bang, lo mau masuk buat cari kebenaran atau lo mau hidup dalam kebohongan. Hidup dalam rekayasa yang dibuat oleh papa kita," Derald langsung pergi begitu saja.
"Gue nggak percaya sama lo!" ucap Vano tanpa mau menatap adiknya itu.
"Terserah, gue emang nggak pernah menang sama ke egoisan kalian,"
***
Pagi yang sama, itulah perumpamaan yang tepat bagi seorang Derald. Pagi ini sekolah libur, hal ini karena tanggal merah. Derald tak ada kegiatan, paling dia akan belajar sampai malam dan hari berubah menjadi pagi lagi. Kehidupannya bahkan terlalu monoton sampai tanggal merah dalam kalendar tidak berarti apa pun di matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATMOSFER [END]
Teen FictionDalam kehidupan semua orang memiliki hak untuk memilih jalan hidup mereka masing-masing. Namun, bagaimana jika seorang ayah menentukan seluruh jalan hidup anaknya? Itulah hal yang dialami seorang pemuda bernama Derald Atropedha Vernando. Remaja tid...