Sekali lagi ponsel dalam genggamannya kembali berdering. Dalam keadaan gunda, menjawab panggilan dari Jendra bagaikan pisau yang siap menghunus jantung. Dia tidak ingin mendengar kalimat menyakitkan itu. Namun, hatinya tetap menginginkan dia menjawab panggilan tersebut.
Alhasil Anila kembali mengangkat telepon dengan resiko sakit hati yang jauh lebih menyakitkan daripada sebelumnya.
"Nila, maafin gue. Tapi, lo harus gugurin anak itu. Gue ... gue beneran bakalan tunangan sama orang pilihan papa, Nil. Maafin gue ...."
Anila berteriak histeris kala kalimat-kalimat pencipta kesedihan mendalam di hatinya kembali terdengar. Dia menggenggam erat susur tangga, menyalurkan kepedihan. Masih tersisa enam anak tangga lagi, tetapi ketika melangkah tanpa sadar gadis itu tersandung kakinya sendiri hingga terjatuh ke lantai dasar, bersentuhan langsung dengan dinginnya pijakan kaki berbahan marmer.
Sebelum hilang kesadaran, Anila berbisik sarat akan kesedihan. "Kak Jendra, gue gak akan gugurin anak ini." Setelah itu pandangannya berubah menjadi gelap.
***
Suasana dalam rumah bertingkat dua berwarna emas begitu senyap. Jendra membuang napas lemah ketika kedua kakinya berhenti di depan kamar sang adik tiri. Enggan hati menampakkan diri di salah satu ruang yang dia benci, tetapi ajakan Dikta saat membawakannya makanan tadi cukup membuat penasaran, kamarnya pun sengaja tak dikunci oleh cowok berumur dua puluh tahun tersebut.
Tidak ingin berlama-lama, dia segera mengetuk pintu dan tak butuh waktu lama Dikta membuka daun pintu untuk sang kakak.
"Masuk," suruh Dikta seraya memiringkan badan, bermaksud memberi Jendra jalan agar bisa mengakses kamarnya.
Baru saja melangkah sebanyak tiga kali, dia kontan berhenti saat melihat kehadiran seseorang yang tengah duduk di pinggir kasur. Napasnya seketika memburu, emosi dengan cepat naik ke ubun-ubun. Apa maksud Dikta menyuruhnya ke sini? Bertemu dengan Syahna?
Jendra menatap tajam Dikta yang baru saja mengunci pintu dan berjalan santai mendekati ibunya. Begitu santainya cowok itu menggerakkan tangan, menyuruh Jendra mendekat yang malah menampakkan raut terkejut bercampur amarah. Akan tetapi, Dikta tak ingin ambil pusing. Dia ingin ketegangan ini segera berakhir dan sahabatnya dapat kembali menemukan kebahagiaan.
"Ap--"
"Dengerin gue dulu, baru ngotot," cegah Dikta.
Karena tidak ingin mendapat semprotan kata-kata pedas Jendra, dia segera membekap mulut cowok itu dan Jendra langsung menghempas tangannya. Dia mendengkus. Tujuannya memanggil Jendra ke sini untuk menjalankan misi, bukan bertengkar mulut atau apa pun itu.
"Duduk dulu, Ndra. Sini dekat ibu," ajak Syahna, memanggil anak tirinya duduk bersebelahan.
Tak ada respons. Laki-laki berzodiak Taurus itu masih bergeming, berkutat dengan berbagai macam pikiran. Dia tidak dekat dengan wanita di hadapannya, bahkan berbicara pun enggan dia lakukan. Seperti ada sekat yang sulit diruntuhkan.
"Ibu minta maaf kalau selama ini rebut kebahagiaan Jendra. Kasi Ibu satu kesempatan agar bisa jadi sosok orang tua buat kamu Jendra," ucap Syahna, begitu lembut hingga membuat hati Jendra berdetak cepat.
Pupil matanya melebar, mulutnya tak mampu berkata-kata. Untaian kalimat tadi berhasil menghunjam jantung. Mendadak dia merasa ada sesuatu yang mencair dari dalam, terasa begitu hangat.
Syahna tersenyum, bangkit, lantas meraih tangan kanan laki-laki berumur dua puluh satu tahun itu. Pelan dia usap lembut tangan tersebut. Jendra merasakan kehangatan yang selama ini dia rindukan, sentuhan sang ibu dan kini dapat dia rasakan kembali.
Jendra tertawa kecil, memijat pangkal hidungnya, kemudian melepas genggaman tangan wanita di hadapannya. Ditatap wajah yang sudah menimbulkan sedikit keriput. Belum sempat mengamati dan mencari celah kebohongan dari ucapan ibu tirinya, Syahna langsung saja memeluk Jendra, begitu erat.
"Maaf kalau Ibu membuat kamu menderita. Ibu cuma minta kesempatan jadi orang tua kamu. Ibu akan belajar menjadi sosok yang kamu mau, Jendra," isaknya.
Jendra sadar, kini tangannya tengah membalas dekapan Syahna, meskipun sedikit canggung tetap saja dia memaksa diri. Kehangatan ini, rasa yang pernah hilang kini kembali perlahan. Dia terisak dan semakin mengeratkan pelukannya hingga membuat Syahna terkejut, begitu pun Dikta.
"Maaf, Bu. Jendra terlalu keras kepala dan gak bisa lepasin masa lalu. Maaf karena selama ini nyakitin perasaan Ibu."
Syahna tersenyum haru. "Iya, Nak. Ibu senang kalau kamu udah mau nerima Ibu dan Dikta. Ibu senang sekali." Dia menepuk-nepuk pundak Jendra.
"Udah kali nangis-nangisnya. Gue nyuruh lo ke sini karena pengen bicarain misi."
Seketika Jendra melepaskan pelukannya, melempar pandang ke arah Dikta dan Syahna berulang kali. Misi?
"Maksud lo?"
"Gue udah ketemu sama calon tunangan lo. Gila, sih. Dia cantik banget, rugi kalau nolak. Tapi, gue sayang sama sahabat gue. Gue gak mau Anila kehilangan calon suami sah. Jadi, gue mikir misi ini sama Ibu semalaman biar lo bisa bebas, dan gue yang dapat untungnya." Dikta tertawa di akhir kalimat, membuat sang ibu geleng-geleng kepala.
Jendra masih belum mengerti. "Jelasin langsung," pintanya tidak sabaran.
Dikta tersenyum penuh arti seraya menatap kakaknya. Entahlah, apakah caranya akan berhasil atau tidak, yang terpenting dia mencoba terlebih dahulu. Ini semua dia lakukan demi Anila.
"Dengerin baik-baik, ini soal acara makan nanti malam bareng keluarga calon tunangan lo, nantinya jadi calon tunangan gue," ucapnya seraya tersenyum tipis dan menaik turunkan alis.
***
"Nil, buka pintunya, dong. Lo belum pernah makan dari siang." Mia mencak-mencak di luar kamar Anila. Hampir tiga puluh menit dia menggedor-gedor pintu, tetapi gadis di dalam sana tidak meresponsnya sama sekali.
Mia tahu apa yang tengah sahabatnya rasakan, meskipun tak bisa merasakannya dengan pasti, dia yakin Anila sedang dalam masa paling terpuruk. Dia tidak ingin menganggu waktu tenang gadis itu, tetapi tidak makan seharian penuh sama sekali bukan ide bagus bagi wanita hamil.
"Anila. Ini udah jam delapan malam dan lo sama sekali belum makan. Ayolah, setidaknya sayangi janin lo."
"Biar gue."
Suara dari balik punggung Mia membuat gadis itu terlonjak. Hampir saja piring berisi makan malam di tangan terjatuh membentur lantai jika saja dia tidak cepat-cepat memperbaiki posisi tangannya.
"Ka-kak Je-Jendra? Kok lo bisa di sini? Bukannya Dikta bilang lo dikurung?"
"Ceritanya panjang," jawab Jendra seadanya.
Cowok itu segera mengetuk pintu. Dia begitu khawatir akan kesehatan Anila, belum lagi perkataannya mengenai pengguguran kandungan yang sempat dia lontarkan tadi siang. Sungguh dia semakin bersalah dan sulit melihat Anila seperti ini.
"Nil, ini gue Jendra. Gue di sini untuk lo. Gue datang, gue gak pergi. Kita jalani semuanya sama-sama. Maafin gue, maaf atas perkataan yang gak sepantasnya." Nada penyesalan jelas terdengar.
Mia yang mendengar ucapan Jendra terkejut bukan main, apalagi Anila yang kini berdiri tiba-tiba setelah menangis seharian di pojokan kamar. Gadis itu segera berlari, dan membuka pintu kamar.
"Kak Jendra!"
***
26/06/2021
.
Udah chapter 23 aja, nih. Gak lama lagi Ending. Kira-kira endingnya bakalan kayak apa, ya🤭.Ada yang bisa nebak?
KAMU SEDANG MEMBACA
Mistake ✓
Teen FictionAnila refleks memejam kala cowok beralis tipis itu menyejajarkan wajah, embusan napas dapat dia rasakan. Kerongkongannya semakin tandus, oksigen sulit diraup. Dalam hitungan detik bulu kuduk langsung meremang ketika mendengar sapuan suara di gendang...