Begitu cepat kebahagiaan berubah menjadi kesedihan. Itulah mengapa segala sesuatu di dunia ini tak boleh dipinta berlebihan. Anila mengaku salah karena terlalu memaksa kehendak agar semua rencananya berjalan sesuai keinginan, tetapi apalah daya semua justru hancur berantakan karena ingin mempertahankan hal yang dia anggap akan menguntungkan banyak orang.
Gadis itu meremas rambut kuat-kuat, kedua netra kelamnya tak pernah kering oleh air mata. Ratapan mengenai nasib apa yang tengah menanti semakin menumpuk dalam benak. Dia seperti terpojok dalam sebuah ruangan gelap, hening tak tersentuh. Nyatanya saat ini gadis berwajah bulat tersebut tengah menatap hampa luasnya langit biru nan cerah di atas sana.
"Anila gak tau harus bagaimana ngadepin ibu sama ayah," isaknya. Dia memeluk tubuh, semakin merapatkan punggung di badan kasur.
Ya, Anila berhasil pulang tanpa diketahui oleh kedua orang tuanya. Mungkin mereka sibuk, tetapi cukup membuat kerisauan di hati sedikit terangkat. Setidaknya ayah dan ibu tidak mengetahui kondisinya dengan cepat. Dia tidak siap untuk itu dan sejujurnya tak pernah siap menghadapi kehidupannya yang tiba-tiba berubah drastis.
Satu yang pasti, dia tidak ingin bertemu siapa pun, apalagi Jendra. Masa bodoh dengan GDC. Dia akan mengurus segalanya setelah kondisi membaik, tetapi tidak tahu kapan waktu baik 'kan berpihak padanya.
Dia masih terguncang, jauh dari kata baik-baik saja. Tindakan bejat yang tak disadari sepenuhnya oleh Jendra menjadi tamparan keras baginya.
"Gue ... pengen mati aja," lirihnya.
***
Terhitung dua minggu semenjak kejadian buruk menimpa Jendra dan Anila, kondisi cowok itu tak jauh berbeda dari si gadis. Jendra risau, tak pernah menjalani hari dengan tenang. Bukan hanya prihal itu saja, sang ayah ternyata masih ngotot menerima perjodohan tersebut. Dia meninju tembok apartemennya, melampiaskan amarah dan segala beban pikiran yang tak pernah berkurang dari hari ke hari.
"Sial!" racaunya. Harus bertindak seperti apa agar bisa menyelesaikan masalah yang menimpanya satu persatu?
Adnan meringis, setiap kali mengunjungi Jendra, dia selalu mendapati sahabatnya dalam keadaan kacau. Dia tidak tahu mengapa, dan kenapa Jendra bisa berada di tempat ini? Sejak kapan cowok kurus itu memiliki apartemen? Apa masalahnya?
Memikirkan semua itu membuat Adnan pusing. Jendra hanya selalu memanggil kedua sahabatnya, tetapi tidak pernah mengeluarkan sepatah kata apa pun selain berteriak keras. Adnan pun tidak pernah bertanya kenapa, dia ingin Jendra sendiri yang menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
Setelah cukup lama berdua di dalam apartemen tanpa terjalin komunikasi, ketukan pintu terdengar. Adnan tahu yang datang pasti Darash. Kata Jendra tidak ada yang mengetahui tempat ini selain keduanya.
"Jendra udah ngomong?" Bukan sapaan basa-basi yang Adnan dengar setiap kali membukakan pintu untuk Darash, melainkan kalimat serupa tadi.
"Teriak mulu dia, gak ada ngomong-ngomongnya selain bilang sial," keluh cowok bermata sipit itu.
Darash mendesah lelah, dia sama pusingnya dengan Adnan. Laki-laki berjaket hitam itu masuk seraya tertunduk lesu. Kantung plastik berisi makanan ringan kembali dia bawa sebagai teman menonton tindakan seorang Jendra.
"Woi, Ndra! Sini, gih, minum kopi bareng. Udah lama kita gak ngopi," ajak Darash tanpa memedulikan perasaan kacau sang sahabat.
Adnan menjatuhkan diri di atas sofa panjang, memainkan ponsel seraya mencomot segelas kopi cup dan sebungkus kerupuk dari minimarket. Darash pun demikian, cukup mengajak Jendra sekali, tak perlu berulang kali sebab cowok itu tidak akan peduli.
Namun, dugaan keduanya salah. Jendra justru berjalan mendekati mereka berdua sembari menunduk dalam, lantas terduduk di sebelah Darash tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Adnan dan Darash hanya bisa saling pandang, bingung juga jika Jendra tiba-tiba berubah seperti saat ini.
Dengan hati-hati, Adnan berusaha membuka percakapan. "Kita berdua gak pernah maksa lo cerita, Ndra. Tapi, lo tau kalau kita ini bukan sekadar teman, kan? Kita lebih dari itu. Berteman mulai dari SMP sampai sekarang."
Darash menyambungi. "Kita bingung dan merasa gak berguna. Kita berdua ada di dekat lo, tapi malah ngebiarin lo kayak gini. Udah dua minggu, lho."
Adnan mengangguk menyetujui. Cowok itu berharap setelah berucap demikian Jendra mau terbuka. Mungkin mereka berdua tidak dapat memberikan solusi, tetapi setidaknya dengan mendengarkan segala kerisauan sahabatnya, Jendra bisa jauh lebih tenang.
"Gue ...." Rambut yang mulai memanjang semakin semrawut ketika Jendra mengacak-acaknya, berharap beban pikiran mengurai sedikit demi sedikit.
Tak ada yang bersuara. Kedua anak manusia itu diam sembari menikmati camilan yang ada, menunggu Jendra kembali bercerita.
"Gue punya dosa besar yang gak bakalan bisa terampuni," ucap Jendra dengan tenang. Akan tetapi, jauh di lubuk hatinya tak ada ketenangan di sana.
Kedua sahabatnya menampakkan raut serupa. Mengerutkan kening dan fokus penuh ke arah Jendra. Mereka kembali menunggu sang sahabat bercerita, sepertinya masalah kali ini jauh lebih berat daripada meninggalnya ibu cowok itu, atau Pak Ragalih menikah lagi.
"Gue mungkin hamilin anak orang."
Bagai disambar petir siang hari, Adnan dan Darash kontan mengurut dada saking terkejut. Mereka tidak mungkin salah dengar, telinga keduanya baik-baik saja.
Darash tertawa pelan. "Ah, lo kalau nge-prank gak mikir dulu."
"Gue serius. Lo tau Anila, kan? Gue gak sengaja lakuin itu," ucapnya putus asa.
Jelas saja keduanya tidak percaya. Bagaimana mungkin Jendra yang cuek bisa melakukan hal seberdosa itu?
Adnan berdecak. "Gimana ceritanya lo bisa hamilin anak orang? Dengan sikap lo yang secuek batu ini?"
Jendra menggeram jengkel. Jika saja dengan kehilangan nyawa masalah ini bisa selesai, dia rela mati sekarang. Hanya saja, bagaimana dengan Anila? Gadis itu pasti jauh dari kata baik-baik saja, apalagi dia tidak tahu kabar Anila setelah kejadian itu.
Cowok itu memijat jidat. Dia mulai menceritakan awal kejadian keparat yang menimpanya. Dimulai dari Jendra yang terus meminum-minuman keras sampai mabuk parah, dan tanpa sadar memaksa Anila, argh! Jendra membenturkan kepala di meja.
"Tolol!" teriaknya.
Darash menahan kepala cowok itu agar tidak kembali dibenturkan. "Setop! Nanti lo tambah bego kalau dijedotin terus, tuh, pala." Dia membuang napas lelah, mulai prihatin akan nasib sahabatnya. "Lagian kenapa lo ngangkut anak orang sampai di sana, sih!"
Jendra mengusap wajah kasar. "Gue udah gak bisa mikir lagi, Rash. Bokap gue ... bokap gue bahkan tutup mata soal gue yang udah punya pacar, dan gue masih ingat dengan bodohnya gue berpikir sebelum hilang kesadaran waktu itu. Kalau gue hamilin anak orang, gue bisa bebas dari perjodohan ini."
Adnan dan Darash berdecak. Sedetik kemudian beralih saling memeluk ala kartun Teletubbies. Mereka jadi merasa bersalah karena telah memberi saran membawa pacar pura-pura. Andai saja tidak ada masukan seperti itu, Jendra tidak mungkin berakhir seperti ini.
***
20/06/2021
.
Ternyata udah chapter 17 aja, cepet juga ternyata😂. Happy reading.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mistake ✓
Fiksi RemajaAnila refleks memejam kala cowok beralis tipis itu menyejajarkan wajah, embusan napas dapat dia rasakan. Kerongkongannya semakin tandus, oksigen sulit diraup. Dalam hitungan detik bulu kuduk langsung meremang ketika mendengar sapuan suara di gendang...