Kembali lagi seperti posisi semula. Jendra mengendarai motor dan Anila adalah penumpangnya. Namun, kali ini suasana hati sedikit berbeda. Jika awalnya Jendra mengira gadis di belakangnya ini akan terus berceloteh minta dijelaskan apa yang sebenarnya terjadi, nyatanya tidak.
Anila justru terdiam seribu bahasa. Apa yang dia ketahui hari ini sungguh membuat mulutnya bungkam. Penasaran memang tak dapat ditampik, ingin tahu semuanya. Tentang keputusan Jendra, kebenaran Dikta adalah saudara tiri cowok di depannya ini, mengapa dirahasiakan?
Gadis berambut sebahu tersebut tak habis pikir. Anila yakin mengenal Dikta seratus persen, tidak ada sisi yang tak dia ketahui tentang Dikta. Akan tetapi, hari ini seratus persen itu berkurang menjadi delapan puluh persen. Untuk saat ini dia tidak ingin bertanya lebih dulu. Dia mau mendapatkan penjelasan tanpa mengemis atau meminta terlebih dahulu.
Jendra dan Dikta harus menceritakannya sendiri tanpa diminta. Hatinya mencelus, kekecewaan cukup membuatnya berkaca-kaca.
"Gue yakin lo pengen tau semuanya."
Ternyata tak butuh waktu lama menunggu Jendra bersuara. Di belakang, Anila merasakan jantungnya sedikit berdetak tak karuan, tidak sabar mendengar apa yang sebenarnya terjadi.
Jendra menghentikan motor di pinggir jalan sepi pengendara. Cowok itu melepas pelindung kepala dan melirik Anila melalui kaca spion. Gadis itu memasang wajah datar, tidak ada raut antusias di sana, dan Jendra tidak tahu mengapa Anila berubah seperti ini, seolah-olah tidak peduli dan tak ingin tahu. Namun, dia tidak ingin mengurungkan niat menceritakan semuanya.
Toh, dia yang menarik Anila masuk ke dalam masalah keluarganya. Sial, semua terasa lebih rumit sekarang. Dia sungguh kesulitan berpikir waras untuk saat ini. Dipikirannya hanya ingin bebas dari masalah perjodohan sesegara mungkin.
"Gue nembak lo karena sesuatu, dan gue yakin lo nerima gue karena tantangan." Bodoh, mengapa sekarang dia berucap demikian. Sudah terlanjur basah, lebih baik nyebur sekalian. "Kita jalani hubungan ini tanpa rasa, tapi saling menguntungkan."
Cowok bermata tajam itu berucap tenang, tetapi raut wajahnya terlihat tak karuan. Jendra tak pernah merasa tertekan seperti ini sebelumnya.
"Gue nembak lo karena gak mau dijodohkan. Gue pikir dengan bawa lo ke rumah tadi semua bakalan berjalan sesuai rencana. Setidaknya ada sedikit perubahan dari perjodohan itu." Jendra menghela napas. "Tapi, gue salah. Keputusan gue terlalu terburu-buru dengan bawa lo ketemu sama bokap. Sekarang lo harus terseret masalah gue. Maaf."
Untuk pertama kalinya Anila bisa melihat kesungguhan dari raut dan binar mata yang Jendra tampakkan. Maaf itu tulus, dia dapat merasakannya, dan dia tak akan marah sebab terjun ke dalam masalah yang seniornya maksud. Lagi pula dia juga lancang, kan, mengejar Jendra dan meminta cowok itu menjadi pacarnya tanpa ada rasa sama sekali?
Namun, tanpa mereka sadari terjerat dalam permainan rasa tak pernah segampang yang mereka pikir. Sekalipun tanpa cinta, pada akhirnya menyelesaikan apa yang telah dimulai tak pernah semudah itu.
Anila turun dari motor, berdiri tepat di depan Jendra. Dari posisi mereka sekarang, kedua pasang mata itu saling menatap. Anila menampilkan senyum termanis yang dia punya seraya menyodorkan tangan untuk bersalaman. Jendra tak lantas menjabat tangan tersebut, dia justru memandang Anila penuh tanda tanya.
Gadis itu tertawa kecil. "Anggap aja kita impas. Kita jalani ini sampai tujuan masing-masing tercapai. Kalau ada yang baper itu urusan belakangan. Gue bantu lo, lo bantu gue. Deal?" Anila berujar riang, semoga ini awal dari keberhasilannya memberantas GDC, dan juga awal dari meredanya konflik keluarga dari seniornya.
Cowok itu menjabat tangan Anila, tanpa sadar dia tersenyum tipis membuat sang junior termangu.
"Nah, gitu. Sesekali senyum sama gue. Eh, Kak, anterin gue ke sekretariat GDC, ada pertemuan sekarang. Lo harus bantu gue dengan ngaku jadi pacar gue. Sepakat?"
Jendra mengangguk singkat, lalu memakai helm. Dia tidak ingin berlama-lama di sini. Namun, belum sempat mengenakan helm sepenuhnya, dia kembali meletakkan benda bulat tersebut di spion.
"Soal Dikta, di---"
"Biar dia yang jelasin ke gue," putus gadis itu sembari kembali mendudukkan diri di belakang si pengendara.
Jendra mengangguk kaku. Ya, benar. Biar Dikta yang menjelaskannya sendiri.
***
"Gue gak terima. Lo gagal dalam misi ini karena lo berdua jadian tanpa saling suka." Bita memukul meja di depannya dengan keras, dia tidak peduli tangannya kebas.
Anila berjalan menghampiri Bita dan Magnolia di atas sana, sedangkan Jendra duduk diam di belakang dan memperhatikan drama cewek yang sungguh membuatnya bosan setengah mati. Dia juga risih karena berada di dalam ruangan yang hanya berisi para cewek-cewek dengan dandanan menor, tidak termasuk Anila. Parahnya, hanya ada satu cowok di sini, cuma Rajendra Taurus Ragalih.
"Gue gak terima. Itu gak ada dalam syarat misi. Jadi, lebih baik sekarang lo angkat gue jadi ketua periode tahun ini atau GDC bakalan gue aduin ke polisi dengan memanggil saksi perundungan secara paksa," sanggah Anila dengan lantang. Persetan terhadap semua pasang mata yang melihatnya sekarang.
Bita berdiri, memandang geram ke arah Anila. "Apa bukti lo pacaran sama Jendra." Sungguh bodoh pertanyaan itu, tetapi Bita sudah tidak mampu membendung emosinya.
Anila tertawa kencang. "Apa lo gak lihat satu-satunya cowok di belakang sana? Dia pacar gue sekarang."
Riuh suara dari tiap mulut melayang ke arah Anila. Berbagai protes mengudara begitu saja tanpa memikirkan syarat misi yang telah ditetapkan dua bulan lalu. Mereka semua menolak Anila menjadi ketua GDC. Magnolia menatap tajam musuh bebuyutannya. Dia tidak terima Anila bersama Jendra. Namun, melihat kehadiran cowok itu di sini sudah membuktikan bahwa perkataan Anila benar.
"Jangan laporin apa-apa, Nil."
Seseorang muncul dari balik pintu kamar yang berada di belakang Bita. Kemunculan gadis itu membuat suasana menjadi sedikit tenang karena mulut mereka beralih berbisik-bisik. Anila membulatkan mata, tidak menyangka orang yang dia lihat adalah Bintang Adiyaksa.
"Bintang. L-lo ke-kenapa di sini?" Anila tidak percaya dan tidak ingin percaya. Bintang jelas-jelas melarangnya melaporkan GDC!
Bintang berdiri di hadapan Anila. Gadis bermata tegas dan berpendirian teguh itu memohon melalui tatapan mata yang tiba-tiba terlihat sendu.
"Jangan laporin apa-apa, atau orang yang gak mampu kayak gue bakalan putus kuliah," bisik Bintang, lalu menjauh dari sana. Jujur saja, dia merasa sangat rendah sekarang. Namun, seperti inilah kehidupan.
Berada di bawah roda kehidupan memang menjadi bagian tak terbantahkan dari takdir manusia. Akan tetapi, Bintang tetap percaya bahwa dia bisa berada di atas roda kehidupan meskipun tidak untuk saat ini.
Anila tertunduk dalam, air matanya sudah menggenang di pelupuk mata. Jadi benar GDC memberi dana bagi mereka yang tak mampu membayar uang kuliah. Kepalan tangannya menguat, tidak menyangka akan tersudut seperti ini. Dengan berat hati, dia meninggalkan ruangan, membiarkan ucapan-ucapan remeh menemaninya melangkah menjauh dari sana. Dia sudah terlampau kecewa, sangat tidak terima, tetapi dia tidak punya amunisi lain untuk menyerang balik.
Baiklah, mungkin dia kalah hari ini, tetapi hari esok 'kan menjadi hari kemenangan baginya.
✖️
18/06/2021
.
Besok lanjut, gak, nih?😆
KAMU SEDANG MEMBACA
Mistake ✓
Teen FictionAnila refleks memejam kala cowok beralis tipis itu menyejajarkan wajah, embusan napas dapat dia rasakan. Kerongkongannya semakin tandus, oksigen sulit diraup. Dalam hitungan detik bulu kuduk langsung meremang ketika mendengar sapuan suara di gendang...