Semilir angin malam menemani perjalanan tanpa arah kedua insan berstatus pacaran demi menuntaskan misi masing-masing itu. Setelah mengikuti rapat bersama GDC tadi, dia tidak lantas pulang. Anila mengikuti ke mana Jendra membawanya.
Dia tahu perasaan cowok ini sedang tidak baik-baik saja. Orang bisa dengan mudah terlihat santai tanpa rundungan masalah, tetapi nyatanya menyimpan beban pikiran yang menyesakkan dada, membuat otak bekerja terus-menerus guna menemukan solusi. Begitulah Jendra.
Cowok berhidung mancung itu sudah capek menerima tekanan demi tekanan. Jendra lelah, dia hanya ingin seperti dulu. Tidak masalah jika ayahnya terus bersama sang ibu tiri, dia iadak akan protes lagi asalkan perjodohannya batal. Seketika dia tersadar bahwa selama ini dia kurang bersyukur.
Ayahnya tetap perhatian, ibu tirinya bahkan tak seperti cerita-cerita zaman dahulu yang menggaungkan ibu tiri selalu jahat dan hanya baik pada ayahnya saja. Namun, itu semua tidak benar. Dia bahkan memiliki Dikta yang tak pernah mempermasalahkan sikapnya.
Akan tetapi, bayangan sang ibu yang telah meninggal kembali merenggut warasnya. Dia melihat dirinya berada di suatu tempat dan dikelilingi dengan berbagai masalah, dan semua masalah itu berasal dari sang ayah.
Jendra berteriak, menghiraukan pengendara lain yang mendengar teriakannya. Dia bahkan lupa bahwa sedang bersama orang lain sekarang. Di belakang sana Anila meraba-raba dadanya, detakan jantung terasa begitu cepat. Sesaat dia bergidik ngeri, jangan sampai Jendra membuatnya mati di tengah jalan karena ketidakfokusan cowok itu.
"Kak, singgah dulu gih kalau mau marah-marah. Soalnya lo lagi bawa nyawa orang lain, nih. Gue gak pe---"
"Bacot!" Jendra kembali berteriak, sedang tidak ingin mendengarkan apa pun. Kata hatinya pun bahkan tak berfungsi untuk saat ini.
Laki-laki kelahiran tahun dua ribu itu terus memacu kuda besinya, melewati kendaraan-kendaraan lain yang mungkin mengumpat kesal karena ulahnya. Dia tidak peduli, tujuannya jauh lebih penting sekarang.
***
Motor sport hitam berhenti di depan pub. Cowok bercelana jins hitam dipadu jaket parasut biru malam itu memandang bangunan bernuansa gelap di depannya. Sejenak dia terdiam, ingatan beberapa tahun silam menariknya ke dimensi itu.
Dulu, dia pernah ke sini di hari ayahnya memilih menikah lagi. Entah mengapa, jika dihampiri masalah berat, dia memilih mengunjungi tempat ini, meminum minuman beralkohol hingga membuatnya mabuk berat. Bedanya kali ini dia bersama seorang gadis.
Sekali lagi, kata hatinya sama sekali tak berfungsi untuk saat ini, tidak peduli sedang membawa anak gadis orang di tempat terkutuk. Jendra turun dari motor dan tersadar bahwa sedari tadi Anila terus meneriakinya.
"Telinga, kok, gak berfungsi. Ini tempat apa, hah? Antar gue pulang sekarang!" titah gadis itu.
"Pulang sendiri," ujar Jendra, terdengar datar.
"Jadi cowok bertanggung jawab dikit, lah. Lo yang bawa-bawa gue seharian penuh."
Lebih baik tidak mengurusi ocehan gadis itu, kepalanya sudah berat dan akan semakin berat jika meladeni Anila. Dia ingin segera menenggak barang haram di dalam sana, mabuk habis-habisan tanpa memedulikan dosa yang akan dia dapatkan.
Jendra berlalu begitu saja, memasuki pub. Di belakang sana Anila mematung. Ragu, masuk mengikuti Jendra atau tetap di sini menunggu cowok itu selesai. Gadis itu mencak-mencak. Dia tidak menyangka Jendra memiliki sisi gelap seperti ini. Dengan berat hati, gadis itu menyusul Jendra ke dalam.
Anila mengernyit ketika telinga diusik musik berdebam keras, hidung berkerut saat mencium bau alkohol, tangannya kontan menjepit hidung ketika semakin masuk ke dalam sana, asap rokok mengepul di mana-mana. Banyak wanita berpakaian kurang bahan, lelaki haus nafsu. Pemandangan yang sungguh merusak mata.
Dia tidak tahan dan langsung mencegat Jendra yang tak jauh darinya. "Kak, pulang yuk, mending makan malam bareng gue," teriak gadis itu. Seniornya jelas saja tak bisa mendengarnya jika berbicara seperti biasa.
Tak sesuai harapan, cowok itu malah melepas genggaman tangan si gadis dan memilih ke bartender, memesan sebotol vodka. Masa bodoh lidah dan kerongkongannya 'kan terasa panas, tak peduli dosa terus bertambah. Dia hanya ingin Vodka, dan tidak ingin kembali ke rumah.
"Vodka," pinta Jendra.
Melihat itu Anila kembali dirundung kegelisahan. Dia duduk di sebelah Jendra dan mengguncang-guncang bahu si cowok.
"Kak, gak gini cara menyelesaikan masalah. Gue punya buku "Filosofi Teras" lo harus baca itu." Selagi sarannya masuk akal, Anila tidak akan tinggal diam. Jendra tidak boleh melakukan ini.
Jendra terbahak seraya meraih Vodka yang disodorkan. Dia menatap Anila tajam. "Gue gak pernah suka baca buku." Lalu melangkah ke arah tangga dan meniti undakan-undakan tersebut satu persatu.
Gadis bermata bulat itu ternyata belum menyerah. Jendra pikir Anila akan segera berlalu, tetapi malah berani mengikutinya memasuki sebuah kamar bernuansa merah menyala. Harum bunga mawar seketika menyapa indera penciumannya.
"Ini kamar apa?" Anila masuk ke dalam kamar tanpa merasa terancam sama sekali.
Jendra tak peduli, cowok itu malah menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Dia tidak tahu mengapa malah membiarkan Anila berada di sini bersamanya. Mungkin dia terlalu lelah untuk mengusir, toh, gadis itu tidak mungkin mendengarkan perintahnya.
***
Benar kata orang-orang, tidak ada yang tak mungkin di dunia ini. Anila mengakui itu. Namun, haruskah ketidakmungkinan yang tak pernah dia bayangkan menimpa dirinya? Dia sungguh tidak menyangka. Gadis bermata sembab, bibir bengkak, pakaian compang-camping sungguh mewakili bagaimana perasaannya saat ini.
"Gu-gue gak bakalan ha-hamil, kan?" tanyanya pada sepoi angin subuh. Tetes air mata yang sempat berhenti ketika keluar dari pub kini kembali terjun bebas menghantam aspal.
Anila sudah tidak mampu berjalan, tungkainya terlalu lemah menopang tubuh. Bayangan kedua orang tuanya seketika melintas. Apa yang 'kan mereka lakukan jika mengetahui anaknya sudah tidak perawan lagi. Dia berteriak kencang, mengapa Jendra melakukan ini padanya?
Sesak mengepung dada, batinnya sungguh terluka. Dia percaya pada cowok itu, tetapi kepercayaan yang diberikan malah terpecah tanpa bisa disatukan kembali. Gambaran masa depan bahkan mengabur, seketika tak ada asa yang mampu dia perjuangkan lagi.
"Maafin Anila, maafin Anila," lirih gadis itu seraya menangis tersedu-sedu.
Alasan seperti apa yang 'kan dia ucapkan jika pulang seperti ini? Sungguh, dia telah melakukan dosa besar. Dia menolak mati-matian perbuatan Jendra, bahkan melukai cowok itu menggunakan pecahan vas bunga, tetapi dia tetap tak dapat melawan ... dan tetap berdosa.
Ke mana harga diri keluarganya 'kan dia bawa? Dia telah mencoreng nama baik keluarga. Dia tak pantas pulang, tetapi tak lantas menghilang begitu saja.
✖️
19/06/2021
.
Happy reading ✨
KAMU SEDANG MEMBACA
Mistake ✓
Teen FictionAnila refleks memejam kala cowok beralis tipis itu menyejajarkan wajah, embusan napas dapat dia rasakan. Kerongkongannya semakin tandus, oksigen sulit diraup. Dalam hitungan detik bulu kuduk langsung meremang ketika mendengar sapuan suara di gendang...