-04-

561 58 21
                                    

Bukan Anila namanya jika tidak keras kepala. Sahabatnya pun tahu, semua yang mengenal Anila juga tahu bahwa keinginan cewek itu harus selalu tercapai, tidak peduli dengan segala keribetan serta kesulitan yang ada. Lantas, apa hadiah atas kegigihannya? Kata Anila, rasa puas setelah menolong seseorang adalah pemberian paling menakjubkan.

Mia membenarkan posisi kaca matanya yang sempat melorot. Setelah mempertimbangkan baik dan buruk mengenai pilihan sang sahabat, ketidakrelaan tetap saja berada di posisi paling tinggi. Niat baik memang tak ada salahnya, tetapi respons untuk niat baik tak selamanya bersambut kebaikan. Itu yang Mia khawatirkan. Dia sangat tahu apa yang menanti Anila. Sebuah pembalasan dendam karena telah mempermainkan komunitas.

"Pikirin baik-baik lagi, Nil. Target lo gak semudah itu luluh, semua anggota GDC juga benci sama lo." Peringatan kembali terlontar, dia tidak pernah bosan menyalakan alarm untuk gadis itu.

Satu-satunya cowok di antara mereka kontan mengangguk. "Gak ada support, Nil. Gue tahu lo gak suka sama perundungan, tapi negara kita aja gak terlalu mikirin hal kayak gitu."

"Lo mau pembulian terus beranak pinak? Kalau mereka gak peduli, lantas kita juga bodo amat? Gitu? Terus apa gunanya hukum? Apa artinya kita kuliah jurusan hukum kalau masalah memperjuangkan hak tiap orang aja kita gak peduli?" berang Anila. Ya, dia sangat tidak menyukai pemikiran realistis seperti yang dikatakan oleh Dikta. Bagaimana mungkin membiarkan orang yang kesulitan terus terpuruk di bawah kekangan pembuli?

Tanpa menunggu semua pertanyaannya terjawab, dia bangkit, segera beranjak dari kantin. Panggilan Dikta bahkan dihiraukan begitu saja. Dalam hati dia menggerutu, tidak terima mengapa kedua temannya berusaha memperkeruh suasana, meruntuhkan asa. Tidak ada dukungan seperti sedia kala.

Mungkin dia egois karena menolak keinginan temannya. Akan tetapi, semua yang dia lakukan demi kebebasan setiap orang yang kehilangan haknya untuk bersuara secara bebas. Mengapa dia begitu kuat berada di posisi pembela? Karena dia pernah menjadi korban perundungan saat di sekolah dasar, bahkan saat itu beberapa guru juga ikut melakukan hal yang sama.

Mengingat kejadian kelam tersebut, tanpa bisa ditahan air mata menitik satu demi satu. Sakit hati yang pernah tertimbun dalam kini terangkat kembali, memporak-porandakan mentalnya. Selama empat tahun hidup dalam krisis kesadaran harga diri—berbaur bersama mereka yang tak menanam empati—dia mengetahui betul tiap rasa yang memuakkan jiwa.

Ingin berteriak, memaki, melawan, tetapi tak pernah bisa tersampaikan. Sesak dalam dada semakin terasa, dia membuang napas kasar. Seketika satu alasan mengapa dia tak pernah berbicara pada orang tuanya kembali menyeruak. Anila lebih memilih diam daripada harus jujur karena takut membuat keributan di sekolah. Saat itu ayahnya adalah seorang advokat, membuatnya semakin ketakutan untuk berbicara apa yang sebenarnya terjadi.

"Gue benci mereka. Sampai kapan pun gue benci sama teman-teman SD gue," lirih gadis itu. Dia mendongak, menatap sekitar. Ternyata sekarang dia berada di taman kampus yang tak begitu ramai.

Setelah menghapus air mata dengan kasar, gadis itu berderap ke arah kursi beton di bawah pohon lindung. Suasana damai serta semilir angin bisa membantu merehatkan otak dan hati yang sempat memanas.

Saat hendak mengambil buku bacaan dari dalam tas, tanpa sengaja dia melihat Jendra dan Magnolia berjalan bersisian, tak jauh dari tempatnya duduk. Entah dorongan dari mana dia malah menghampiri dua orang itu.

"Kak Jendra!" seru cewek berkuncir ekor kuda, senyum lima jari tak lupa disematkan pada wajah ovalnya.

Sontak kedua orang itu menghentikan langkah. Mereka menengok ke arah sumber suara. Satunya bingung, satunya lagi kesal bukan main. Jendra menatap datar Anila yang kini sudah berada di hadapannya. Cowok itu mengangkat alis, bingung mengapa gadis yang kerap kali menabraknya ini tiba-tiba mengetahui namanya.

"Heran, ya, kenapa gue bisa tau nama lo?" Sadar bahwa sekarang dia tengah menghadapi senior, dia lantas meringis dan memperbaiki cara tuturnya. "Sori, gak sopan banget. Kak Jendra heran, kan, kenapa gue bisa tahu nama, Kakak?" Sampai kapan pun, Anila tidak bisa menggunakan aku jika bukan orang tua yang dihadapi.

"Kecentilan!" hardik cewek bergaun peach selutut, lengkap dengan make up yang tampak natural. Tangan si cewek semakin erat memeluk lengan Jendra kala mata bulat Anila menyorot penuh ke arah Magnolia.

Tanpa menunggu jawaban Jendra, Anila kontan menarik cowok itu menjauh dari teman SD-nya. Jendra yang ditarik terkejut bukan main. Dalam hitungan detik cowok itu berderap cepat, menghindar dari dua cewek aneh yang tengah berusaha memperebutkannya. Bukannya tingkat percaya diri Jendra sangat tinggi, tetapi memang seperti itu lah kenyataannya.

"Berani lo sama gue?" Magnolia menatap berang gadis yang sudah dibencinya dari dulu.

Anila berkacak pinggang sembari mendengkus. "Masih belum sadar diri ternyata. Emang lo pikir semua bisa jadi milik lo? Kak Jendra itu target gue kalau lo lupa!"

"Apa lo sadar kalau lo sedang mempermainkan perasaan seseorang?" Cewek berambut panjang bergelombang itu tersenyum sinis, lantas meninggalkan Anila yang kini diam membisu.

Jantung Anila berdetak cepat diiringi aliran darah yang mengalir deras. Benar,  sekarang dia sedang berada dalam perjalanan mempermainkan perasaan seseorang. Ini tidaklah baik, tetapi hanya itu satu-satunya cara yang dapat dia lakukan. Menggeleng cepat, tak mau memikirkan hal lain. Dia harus fokus pada satu perkara dulu sebelum melangkah ke perkara lain.

"Lo lihat aja, kehidupan gue bakalan bahagia sama Kak Jendra," teriak Anila agar orang yang pernah merundungnya saat sekolah dasar dulu mendengar dengan jelas.

Tatapan aneh serta bertanya-tanya dari orang sekitar kini melayang ke arahnya. Dia meringis seraya berusaha menyembunyikan wajah menggunakan buku yang sempat diraup dari dalam tas sebelum menghampiri Jendra.

"Ck, ternyata gue masih bisa malu," ringisnya sambil melangkah kembali ke kursi beton, tempat semula untuk bersantai sejenak sebelum memasuki ruang kuliah.

Sementara itu, di lain tempat Jendra menghentikan langkah saat seseorang sengaja menghadang akses koridor. Lagi-lagi hawa panas pemancing kobaran api bernama kemarahan kembali menguat. Melihat wajah adik tirinya memang sememuakkan itu bagi Jendra. Kebencian sudah menyatu bersama aliran darah, sehingga berpikir jernih pun sulit terealisasikan jika berhadapan dengan Dikta.

"Kak Jendra tungguin, dong!" panggil seorang gadis dengan suara melengking, cukup membuat orang-orang sekitar terganggu.

Cowok itu kontak menghela napas panjang, kemudian kembali melangkah, tidak memedulikan tatapan tajam adik tirinya. Panggilan Magnolia pun diabaikan begitu saja. Dia muak, mengistirahatkan kepala serta tubuhnya adalah prioritas saat ini.

Semalam setelah berjalan tanpa arah dia berakhir di salah satu rumah sahabatnya. Urusan motor yang ditinggalkan begitu saja di pinggir jalan sudah diurus oleh sahabatnya yang lain, entah bagaimana caranya, tetapi sekarang motor sport itu sudah berada di halaman parkir kampus bersama dua orang cowok di sana.

"Pulang." Kata perintah yang terucap tanpa minat berhasil membuat Jendra berhenti melangkah untuk kesekian kali.

"Gue pikir lo lupa satu hal," bisik cowok kelahiran tahun 1999 itu, tetapi masih bisa terdengar jelas oleh lawan bicaranya.

Dikta mendengkus sembari berkacak pinggang. "Sebagai orang asing gue cuma pengin sampein sesuatu. Pak Galih pengen lo pulang." Setelah berucap demikian, dia beranjak dari sana bersama ego yang berusaha berontak ingin memaki, tetapi harus rela ditekan kuat. Lagi, dia harus mengalah.

"Jangan pernah nyapa gue di kampus!"

Perintah dan larangan keras yang tak mungkin Dikta lupakan. Dia melanggarnya hari ini karena permintaan sang ibu membawa Jendra kembali ke rumah, meskipun dia tahu usahanya 'kan sia-sia.


Udah chapter empat aja ✨

Mistake ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang