-21-

487 39 10
                                    

Teriakan itu menggema di seluruh sudut ruang tamu. Semua pasang mata beralih ke satu titik. Dikta.

"Sialan! Lo sialan. Bedebah. Bisa-bisanya lo kayak gitu ke sahabat gue!" Tidak ada habisnya Dikta melayangkan bogem ke wajah Jendra.

Dia tidak peduli leraian sang ibu, Galih pun hanya membiarkan kedua pemuda itu saling bergelut. Sebagai seorang ayah, dia sangat terkejut mengetahui anaknya berbuat demikian. Seolah-olah empati dan perhatiannya redup akibat kecewa.

Apakah menjodohkan Jendra adalah keputusan yang salah sehingga anak itu bertindak di luar kendali? Namun, sudah sepantasnya sang anak berbakti kepada orang tua, bukan? Dia mengiakan perjodohan itu demi kebaikan keluarga mereka. Menolak permintaan kolega bukan hal yang tepat.

Perjodohan itu demi mempertahankan perusahaan yang semakin lama semakin mengalami penurunan. Mungkin Galih egois, tetapi tak ada salahnya menjodohkan anak sendiri.

"Anila sahabat gue! Kenapa lo tega sama dia, Bangsat!" Dikta semakin brutal melayangkan tinju, sementara Jendra sama sekali tidak melawan.

Jendra pasrah, sudah sepantasnya dia mendapatkan pukulan perih ini, meskipun tidak seberapa dengan luka yang ditorehkan pada Anila.

"Dikta, sudah. Dia kakak kamu!" seraya terisak, Syahna melerai anaknya. Bagaimanapun juga Jendra juga anaknya. Sebagai seorang ibu tentu saja perkelahian antar keluarga sangat melukai hatinya.

"Ibu diam aja! Dia udah celakaian sahabat Dikta, Bu!"

"Dikta! Berhenti. Ini salah gue juga," lirih Anila yang sudah terduduk di atas lantai karena tidak mampu menahan tubuhnya lagi.

"Jangan berhen ... ti," gumam Jendra, detik berikutnya dia kehilangan kesadaran.

Dikta berteriak, menjatuhkan dirinya di sebelah sang kakak. Mengapa kejadian seperti ini harus terjadi kepada orang yang sangat berarti baginya? Anila sudah seperti saudara, sama seperti Mia. Dia selalu melindungi kedua gadis itu, makanya rela mengambil jurusan yang sama agar selalu berada di dekat mereka.

Namun, dia gagal. Justru yang merusak sahabatnya adalah orang terdekat. Dikta menghampiri Anila yang sedang terisak. Dia memandangi wajah pucat gadis itu. Kantung mata yang terlihat jelas membuktikan Anila tidak baik-baik saja. Ini bukan wajah Anila yang dia kenali. Binar ceria tak ada lagi di sana.

"Maafin gue, Nil, maaf," ujar Dikta terdengar begitu pilu. Cowok bernetra kelam itu memeluk erat tubuh sang sahabat yang semakin bergetar karena tangis.

"Saya mohon maaf atas tindakan anak saya. Tapi, saya mohon jangan menuntut apa-apa dari Jendra, dia sudah saya jodohkan dengan gadis lain, dan ini adalah hari terakhir kamu melihat dia. Jendra akan saya tahan sampai hari pernikahannya tiba."

Setelah berujar panjang lebar, Galih berlalu begitu saja, membuat Syahna dan Dikta mengaga tak percaya, sementara Anila tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Bayangan di mana Jendra 'kan selalu berada di sisinya kini musnah seketika.

Ruang hampa semakin luas di dalam hati. Satu persatu orang meninggalkan hidupnya. Dia tahu kejadian seperti ini akan menghampiri, tetapi dia tak menyangka secepat ini. Sekarang dia tidak tahu harus berpegang pada siapa.

Jika orang tua sudah tidak menaruh perhatian pada sang anak, hidup sudah tak bermakna. Anila lebih menginginkan mati daripada hidup serasa sebatang kara meski pada kenyataannya masih memiliki keluarga.

***

"Gue lebih baik pergi dari sini, Dik. Ini apartemen Jendra, gue minta dianterin ke sini cuma pengen ambil barang," jelas Anila, sesekali menyeka air mata.

Entah mengapa cairan bening itu terus mengalir, padahal dia sudah tidak ingin menangis lagi. Dikta yang melihat kondisi sang sahabat semakin tidak tega.

"Udah, tinggal di sini aja. Gue yakin Jendra juga ngelarang lo pergi dari sini. Nanti gue kabarin Mia, deh, biar bisa nemenin lo," usul cowok itu.

Seketika suara isakan memenuhi apartemen. Anila benar-benar merasa ditinggalkan sekarang. Dia kehilangan kebahagiaan. Keluarga, hanya itu yang Anila inginkan saat ini. Lelucon sang ayah, dan ketegasan serta sikap lembut sang ibu.

"Apa kabar sama Mia? Gue berdosa banget sama kalian karena menghilang gitu aja. Maaf, Dik."

Gadis itu sontak berjongkok, menekuk lutut dan menutup matanya. Tangis semakin menjadi-jadi. Tak ada yang mampu mendeskripsikan bagaimana hancurnya dia saat ini. Dikta kembali memeluk sahabatnya, menepuk-nepuk punggung rapuh yang berada di pelukannya.

"Jangan pernah merasa sendiri, Nil. Gue selalu ada untuk lo. Jangan permasalahin lo kabur dari kita, yang terpenting gue udah tau lo di mana dan ... gue masih bisa lihat lo. Mia juga pasti senang lihat lo."

Tidak ada yang mampu Dikta lakukan selain menenangkan gadis ini. Anila sedang membutuhkan dukungan. Sebagai sahabat tentu saja dia wajib berada di sisi Anila, bukan?

"Lo di sini aja, ya. Biar gue dan Mia yang urus segala kebutuhan lo."

"Gak usah, Dik. Gue malah nyusahin kalian."

"Sejak kapan lo ringanin beban kita-kita?" canda Dikta.

Anila mengembangkan senyum, meski sangat tipis. Tak apa, mungkin suatu saat nanti dia dapat memperlihatkan pada dunia senyum yang lebih lebar. Dia tidak berjanji, tetapi akan mencoba untuk bertahan hidup.

***

Dua kantung belanjaan dari minimarket berada di tangan kanan dan kiri Mia. Susu ibu hamil, buah-buahan, serta persediaan makanan dan camilan sudah dibeli untuk Anila. Dia tidak mau membiarkan sahabatnya itu kekeringan di apartemen.

Untung saja Dikta menghubunginya segera setelah mengetahui kondisi Anila. Dia sudah mendengar semua yang terjadi dari Dika. Dia menghindar bertanya langsung pada Anila, takut gadis itu terluka untuk kesekian kali.

Sekarang mereka berjalan bersisian, bermaksud membeli vitamin ibu hamil di apotek yang tak jauh dari apartemen. Udara sore hari cukup mampu membuat perasaan Anila jauh lebih tenang, kawasan tempat ini pun jauh dari kata ramai.

"Harusnya lo di apartemen aja, Nil. Gak usah ikut jalan kayak gini nanti lo kecapekan. Lo, kan, lagi bawa nyawa di dalam sana," ringis Mia. Dia sangat mengkhawatirkan kondisi mental dan fisik gadis satu ini.

"Gue butuh udara luar, kalau gue di dalam mulu rasanya sumpek tau."

"Jadi selama ini lo ngilang karena ... hamil?" Itu bukan suara Mia, apalagi Anila.

Keduanya sontak berbalik, melihat ke arah sumber suara. Mereka kompak saling pandang, terkejut bukan main. Sepertinya masalah baru tidak lama lagi menghampiri kehidupan Anila yang sudah semakin hancur.

***
24/06/2021
.
Jeng jeng. Happy reading✨

Mistake ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang