-25-

928 56 18
                                        

Rumah? Munafik jika Anila tidak merindukan keluarganya. Bangunan lantai dua yang sedang dipandangi oleh mata kelam gadis itu seolah menarik kejadian-kejadian pahit, awal mula penderitaan hidup dan juga hukuman baginya. Tetes demi tetes air mata jatuh ke tanah, semakin lama semakin banyak.

Anak mana yang tak sedih saat diusir dari rumah oleh ayah sendiri? Anak mana yang tidak sedih ketika semakin terpuruk tak ada keluarga yang menjadi pemandu sorak? Anila mengigit bibir bawahnya, berusaha menahan isak. Dia tidak ingin masuk ke sana dalam keadaan kacau.

"Kita masuk," ajak Jendra seraya menautkan tangannya dengan Anila.

Mereka berdua berjalan dengan langkah berat, seakan menarik batu besar hanya menggunakan satu kaki. Ketakutan akan penolakan semakin tinggi ketika mereka sudah berdiri di depan pintu. Lagi-lagi Anila tak sanggup menahan air mata begitu pintu di depannya terbuka sebelum diketuk.

Seorang wanita tampak jauh lebih kurus dengan mata sayu tanpa binar. Nintia termenung sesaat, memandang wajah sang anak yang begitu dia rindukan. Tangis langsung pecah bersamaan pelukan Nintia menyambar tubuh Anila. Dia sangat ingin bertemu dengan anaknya, sangat ingin.

Anak dan ibu itu saling mendekap erat, menumpahkan air mata penyesalan serta kerinduan di masing-masing pihak. Andaikan Nintia jauh lebih bijak dulu, anak satu-satunya tidak akan terlalu menderita, dia pun tidak akan seperti ini. Namun, amarah memang sulit diredam, sekali tersulut pasti membara.

"Ibu kangen sama kamu, Nak. Ibu cari kamu ke mana-mana. Ibu nelepon kamu tapi gak bisa. Kamu dari mana, Nak, Ibu kangen," racau Nintia, tidak ingin melepaskan pelukannya.

Anila membenamkan kepalanya di bahu sang ibu. "Anila juga kangen sama Ibu, kangen banget. Maaf karena Anila baru berani muncul sekarang," ucapnya sambil terisak. "Ibu baik-baik aja, kan? Kok, kurus banget."

"Ibu gak pernah baik-baik aja semenjak kamu ninggalin rumah ini, Nila." Entah sampai kapan pelukan itu berlangsung, yang jelas Nintia tidak ingin melepaskannya sekarang, dia takut anaknya pergi lagi.

Dia sudah tidak mempermasalahkan apa yang telah terjadi, baginya kehadiran Anila jauh lebih penting. Lagipula dia belum pernah mendengar penjelasan Anila, dia ingin tahu segalanya.

"Masuk dulu, Sayang. Ayo masuk, Nak ...," jeda sejenak sebab dia tidak tahu nama cowok di samping anaknya.

"Jendra, Tante," sambung Jendra sambil membungkukkan badan sejenak.

"Nak Jendra ... ayo ikut masuk."

***

Suasana terasa menegangkan. Anila yang duduk di sebelah ibunya sedari tadi meringis. Bagaimana tidak, dia terakhir kali mendapati keadaan keluarganya bersitegang seperti ini sewaktu kehamilannya terbongkar. Anila menelan ludah saat memandang wajah garang Yasa.

Tidak ada tampang bersahabat dan jenaka dari wajah pria di hadapan Jendra itu. Bahkan Nintia yang selalu tersenyum pun tidak bisa menyunggingkan senyum walau secuil. Kalau dipikir, tentu saja Anila merindukan keluarga hangatnya.

"Jangan usir anak kita lagi, Yas. Udah cukup hukuman yang dia dapat. Kamu, kan, sudah dengar sendiri penjelasannya tadi kalau yang terjadi adalah ketidaksengajaan," jelas Nintia, berusaha membujuk suaminya.

Ya, Yasa salah karena selama ini tidak mendengarkan Anila terlebih dahulu. Setelah mendengar semuanya dari mulut Jendra dan Anila, dia terlalu menghakimi para remaja ini. Jendra dengan kehidupan ditekan karena permintaan sang ayah, Anila dengan kehidupan ditekan oleh kenyataan pahit setelah melakukan hal yang menghilangkan kesuciannya.

Orang tua harusnya mendengarkan apa yang hendak anak sampaikan, membiarkan mereka menyampaikan segalanya. Namun, banyak orang tua tak dapat melakukan hal itu.

Mistake ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang