Terhitung setengah jam Jendra berada di rumah yang sangat asing baginya. Mulai dari lingkungan sampai penghuni rumah ini pun sangat membuatnya gerah, tidak nyaman. Dia tidak mengenal Anila, bahkan pertemuan pertama mereka tak begitu menyenangkan.
Cowok itu mengusap wajah sekali, embusan napas keluar begitu saja. Dia ingin segera pulang, memberishkan tubuhnya yang mulai lelah. Namun, temannya belum muncul juga.
Ke mana si curut itu, dengkusnya.
Anila datang dari dalam, membawa secangkir teh hangat beserta camilan di stoples. Bibir gadis itu merekah sempurna, duduk antusias di sofa depan Jendra. Melihat senyum Anila begitu lebar, cowok itu bergidik ngeri.
"Kak, coba lo ketawa lagi kayak tadi, gue pengen rekam. Itu, tuh, fenomenal banget," ucap Anila menggebu-gebu. Dia langsung berpindah duduk di atas karpet, menjadikan kedua tangannya sebagai penyangga wajah. Bibirnya merekah memandang wajah datar seniornya. "Kak Jendra manis, lho, kalau ketawa kayak tadi. Gue jamin cewek-cewek berani dekat-dekat," kekehnya di akhir kalimat.
Jendra kembali mendengkus. Awan kesal semakin menggumul di atas kepala. Seraya menatap tajam gadis di hadapannya, dia meraih cangkir teh dan langsung menyesap air berwarna cokelat manis itu tanpa mengira-ngira teh bisa melukai lidah akibat terlalu panas. Dia kontan meletakkan cangkir dan meringis.
Sialan!
"Ya ampun!" pekik Anila, lalu buru-buru duduk di sebelah cowok itu. "Ck, harusnya disesap dikit, dong. Lihat, tuh, tehnya berceceran di karpet, jaket Kakak juga."
Jendra melongo, seketika menghentikan aktivitasnya mengipas-ngipas lidah. Ditatapnya Anila dengan sorot mata penuh emosi. Apa-apaan ini! Bukannya menanyakan keadaannya gadis itu malah mengkhawatirkan karpet dan jaket.
Gila! Entah sudah keberapa kali Jendra mengumpat. Ada yang aneh pada dirinya. Mengapa kesal Anila tidak mengkhawatirkannya? Dia lantas menggeleng. Namun, tetap saja sesal tak pudar begitu saja meskipun berkali-kali menepis bahwa tak perlu ada yang dikhawatirkan.
Perasaan jengkel Jendra menguap begitu saja kala Anila tiba-tiba berbalik dan mengambil majalah tipis dari bawah meja. Gadis itu kembali menghadap Jendra dan langsung mengipasi wajah cowok itu. Posisi muka mereka cukup dekat, hanya terpaut tiga jengkal. Jendra menatap Anila dalam diam, seluruh saraf terasa kaku dan begitu sulit dikendalikan.
Ada aliran panas yang mengalir di sekujur tubuh. Dia tahu darahnya sedang berdesir hebat, tetapi kenapa? Jendra malah dengan berani menatap mata Anila saat gadis itu sedang serius mengipasinya.
Sadar ditatap begitu lekat oleh cowok di hadapannya, Anila refleks berhenti dari aktivitas, lantas memundurkan duduknya. Jendra sama sekali tidak mengalihkan netra hingga membuat gadis berkaus putih dibalut celana jins hitam itu menautkan alis bingung.
"Kak," panggilnya, tetapi tak ada respons. "Kak Jendra." Sekali lagi dan tetap saja yang dipanggil sama sekali tidak menyahut. Anila menggaruk tengkuk, salah tingkah. Emergency call from my heart. Ini gak bisa dibiarkan, hebohnya.
"Kak Jendra!" pekik gadis itu hingga bukan hanya Jendra yang sadarkan diri, melainkan Nintia juga menampakkan raut terkejut saat melintasi keduanya.
"Nila, kamu kenapa teriak-teriak gitu?" Nintia kembali berjalan setelah sempat berhenti karena tindakan sang anak. Melihat Anila hanya menyengir, dia pun menggeleng. "Ibu harus pergi ke arisan sekarang, kamu di sini ... jangan macam-macam," ancam wanita paruh baya itu, sempat memelototi Jendra.
Sejenak Anila melongo, detik berikutnya tertawa kencang. "Ah, Ibu. Mikirin apa, sih."
"Kamu gak tau soal nafsu laki-laki Anila," ujar Nintia penuh penekanan dan matanya mengintimidasi Jendra yang tengah menyeruput teh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mistake ✓
Teen FictionAnila refleks memejam kala cowok beralis tipis itu menyejajarkan wajah, embusan napas dapat dia rasakan. Kerongkongannya semakin tandus, oksigen sulit diraup. Dalam hitungan detik bulu kuduk langsung meremang ketika mendengar sapuan suara di gendang...