Menunggu bisa menjadi momen mendebarkan jika yang ditunggu adalah orang terkasih. Namun, hari ini Anila sedang menunggu sang target, pemilik minim hati nurani dan enggan berbelas kasih. Lantas apa yang patut dia debarkan saat menunggu Jendra? Apakah dampratnya atau justru sikap cuek yang telah tersemat erat pada pribadi cowok jangkung itu?
Embusan napas panjang beradu dengan semilir angin pagi. Anila duduk di bangku taman utama kampus yang terletak setelah lahan parkir, mengapit koridor masuk. Dalam diam dia memastikan sekali lagi penampilannya. Gaun selutut berwarna biru malam, rambut sebahu dibiarkan tergerai begitu saja, tetapi tetap memberi kesan anggun, serta sebuah keajaiban karena hari ini dia mengenakan tas selempang dan high heels kaca ke kampus untuk pertama kalinya.
Terhitung belasan kali ringisan lolos dari bibir. Gaya ini bukanlah miliknya. Dia sangat risih dan tidak nyaman dengan segala sesuatu yang melekat pada tubuhnya saat ini.
"Huft ... ini demi lo, Kak Jen!" kesal Anila sembari melongokkan kepala ke arah kanan, menanti kehadiran seseorang.
Dia melirik arloji putihnya, sejam lagi mata kuliah pertama dimulai. Dia melirik ke arah parkiran, takut melewatkan objek berharga. Anila yakin hari ini Jendra memiliki jadwal pagi dan lima belas menit lagi akan dimulai. Mengingat jadwal, dia jadi tertawa kecil. Ternyata kemampuan stalking-nya masih bisa diandalkan.
Dari Instagram, Twitter, Facebook dia bisa mencari informasi mengenai Jendra dan nasib baik memihaknya waktu itu kala berhasil mendapatkan foto Kartu Rencana Studi (KRS) kelas Jendra dari salah satu teman seruangan cowok itu yang memang eksis di dunia maya, selalu posting sana-sini.
"Kalau bukan karena tantangan, gue gak bakalan kayak gini. Ya Allah semoga aja usaha gue gak sia-sia," pintanya penuh harap.
Pukul 08.15. Gadis itu belum melihat kehadiran Jendra. Setelah berdecak dia meraih paper bag berisi bekal dan memasuki area gedung kuliah dengan wajah lesu. Tanpa dia ketahui banyak pasang mata yang menatap kagum ke arahnya.
"Ndra, lo gak kepengen bagi-bagi tugas gitu?"
Anila sontak berhenti berjalan. Kepala yang semula menunduk lesu kini tegak kembali. Senyum selebar lima jari langsung menghiasi wajah. Tidak ingin membuang waktu dia langsung membalikkan badan dan mendapati sang target beserta kedua kacung yang tak pernah lepas dari Jendra.
"Kak Jendra!" pekik Anila.
Seperti dugaan, Adnan dan Darash saling adu pandang lalu melirik Jendra sekilas. Mereka berdua memandang objek indah yang kini sudah tiba di hadapan mereka. Senyuman manis, mata bulat, pipi gembul membuat ketiga cowok itu hanya bisa berkedip, bahkan Jendra pun sempat pangling sebelum menyadari bahwa gadis di depannya ini adalah orang yang akan mempermainkan perasaannya.
Jendra melengos, kemudian meninggalkan teman-temannya dan Anila di sana. Adnan berteriak, bermaksud mencegah kepergian cowok itu, sedangkan Darash masih berusaha meyakinkan diri bahwa gadis di depannya ini adalah seorang junior pemberani yang menjadikan Jendra sebagai target pengejaran.
Secepat kilat Anila mengikuti langkah panjang seniornya. Dia tidak menoleh ke belakang sana di mana Adnan meneriakkan namanya.
"Kak Jendra, tungguin." Tak digubris, derap kaki targetnya pun semakin cepat hingga membuat gadis itu mau tidak mau berlari agar bisa mencapai tujuannya.
Sialan! Itu kaki atau mesin, jalan bisa cepat kayak gitu. Anila terus menggerutu dalam hati. Jika diilustrasikan, saat ini kepalanya tengah mengeluarkan asap karena semakin jengkel dengan sikap Jendra yang tak pernah menghiraukannya.
"Awas, gue pengen nikung!" seru gadis itu sebelum mempercepat langkah hingga kini dia berada di depan Jendra, menghalangi jalan.
Setelah merasa bangga menghentikan Jendra, Anila membuang napas panjang dan saat itu juga matanya memperhatikan sekitar. Semua atensi kini tertuju padanya dan juga cowok cuek ini. Dia jadi bertanya-tanya apa yang menyebabkan orang menatap ke arahnya dengan tatapan sulit diartikan. Terdiam sesaat dan segera menyadari bahwa seruannya beberapa menit lalu cukup keras hingga orang sekitar memberikan reaksi demikian.
Dia tersenyum malu, tetapi hanya sekilas karena Jendra berniat melarikan diri. Sebelum itu terjadi dia lantas meraih pergelangan tangan cowok itu, mengenggamnya erat.
Ini cewek atlit karate atau apa'an? Genggamannya keras banget. Jendra terpaku beberapa detik, memikirkan kemungkinan mengenai Anila, tanpa sadar niat untuk kabur pun dilengserkan begitu saja.
Jendra mengentak tangannya hingga genggaman Anila terlepas. Ringisan lolos dari bibir mungilnya. Seketika udara di wajah terasa panas. Penyebabnya bukan sengatan matahari atau udara yang membawa hawa panas ke arah gadis itu, melainkan sengatan rasa malu dari dalam akibat tindakan Jendra. Kali ini dia sungguh merasa menjadi cewek gampangan, murahan karena terus mengejar seseorang yang tak ingin dikejar.
Cairan bening meningkat hingga ke pelupuk mata, tetapi dengan kuat gadis itu mengalihkan kesedihan sesegera mungkin dan seulas senyum bahagia kembali terbentuk.
"Kak, gue bawain bekal. Dimakan, ya," pinta Anila terdengar tulus.
Gue malu, kesal dan pengen akhirin tantangan ini. Tapi, gue udah terlanjur jalan. Gue gak boleh nyerah! batinnya. Ambisinya untuk meruntuhkan GDC tidak akan pernah pudar. Dia tidak ingin orang lain merasakan betapa pedihnya dijadikan bahan perundungan.
Jendra membiarkan paper bag gadis itu menggantung di udara begitu saja. Dia berkacak pinggang seraya menatap Anila datar. "Mau sampai kapan lo ngejar gue? Berhenti atau luka yang lo dapat bakalan lebih sakit dari sekarang." Jendra berlalu dari sana tanpa meraih pemberian Anila.
Nasihat bagaikan ancaman. Anila tidak tahu harus mengartikannya seperti apa, yang jelas dia merasa lelah dan hilang harapan. Kegiatan berpikirnya seketika terganggu saat Adnan menepuk pundaknya, tanpa izin Darash langsung meraih bekal dari tangan gadis itu.
"Udah jangan sedih. Kalau si Jejen gak mau nerima, tenang ada kita berdua," seloroh Darash sembari mengecek isi paper bag dengan riang.
Adnan meringis kasihan. "Gue tau lo lagi jalanin misi dari GDC. Tapi, apa pun yang lo kerjain sekarang gak bisa buka hatinya Jendra. Suatu saat dia bisa, asalkan lo tulus."
"Gue gak bisa! Gue gak cinta sama dia, gue lakuin semuanya karena sebuah tantangan." Pelan-pelan Anila menjawab frustrasi, air mata lolos begitu saja tanpa bisa dicegah. Begitu besar tekadnya, tetapi hatinya tetap rapuh.
Dari jarak yang tak terlalu jauh, seorang gadis melihat kejadian itu. Puas karena Anila meneteskan air mata, dipermalukan oleh Jendra di muka umum dan itu lah keinginan Bita karena kebencian yang semakin terpupuk.
"Ini balasan karena lo sok pahlawan," sinisnya kemudian berlalu dari sana. "Semoga lo selalu tersiksa."
"Nila! Ya ampun, kok, nangis?" Mia datang dari arah parkiran dengan tergopoh-gopoh ketika menyadari gadis yang tampak berbeda itu adalah sahabatnya. Dia langsung memegang kedua pundak Anila.
"Mia," keluh Anila disertai rasa penyesalan. Dia tahu Mia akan sangat kesal jika sudah melihatnya menangis karena menjalankan misi, maka dari itu dia takut jika saja sahabatnya ini mengadukannya pada Dikta. Dia tidak ingin sahabatnya yang satu itu ikut campur untuk urusan ini.
"Ya', jangan bilang-bilang sama Dikta kalau gue nangis. Gue mohon sama lo," pintanya sangat memohon.
"Jangan dibahas dulu, mendingan ikut gue." Tanpa memedulikan kehadiran Adnan dan Darah, Mia langsung membawa Anila pergi dari sana, meninggalkan kedua cowok itu dalam tanya.
"Setidaknya kita dapat makanan gratis." Darash berucap sangat riang.
❌
11/06/2021Revision: 07/06/2023
.
Udah chapter berapa, nih? Udah agak jauh, ya, ceritanya. Jangan pernah bosan-bosan buat mampir baca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mistake ✓
Teen FictionAnila refleks memejam kala cowok beralis tipis itu menyejajarkan wajah, embusan napas dapat dia rasakan. Kerongkongannya semakin tandus, oksigen sulit diraup. Dalam hitungan detik bulu kuduk langsung meremang ketika mendengar sapuan suara di gendang...