"Gue Anila Reiva," ucap gadis itu ngos-ngosan sambil berderap ke arah para penantang dan pendiri komunitas yang memimpin sendiri pertemuan hari ini.
Setiap pasang mata menatap lurus ke satu objek, gadis berparas imut berpenampilan yang tak bisa dikatakan baik-baik saja. Rambut acak-acakan, banjir keringat, serta cara berpakaian tak seanggun anggota GDC pada umumnya. Meskipun demikian, dia tetap percaya diri melangkah ke depan dan berdiri di hadapan para penikmat jerit minta ampun korban penindasan mereka.
Dia tak pernah berpikir nasib seperti apa yang 'kan menimpa. Sekali memegang prinsip, dia tidak akan pernah membiarkannya terlepas begitu saja. Bagi Anila, suatu negara tidak bisa dikatakan tentram jika masih banyak hak yang tertindas.
Atas alasan itu dia tetap berada di jalur ini, menghancurkan perkumpulan apa pun yang bisa merusak mental manusia meski pada awal memijakkan kaki di komunitas ini harus memasang muka dua, alias ikut merundung korban. Namun, dia tidak perlu berlama-lama berbohong. Setelah berhasil masuk dia hanya butuh menampakkan wajah aslinya untuk bisa melancarkan misi.
Gadis bermata biru yang mengenggam mikrofon berkacak pinggang, menatap Anila diikuti senyum merendahkan. Akan tetapi, gadis yang ditatap tak menyadarinya.
"Ini dia ketiga penantang terpilih. Seperti yang pernah gue bilang kalau kalian bakalan pacaran selama tiga bulan sama cowok yang mungkin berengseknya kebangetan." Bita—nama pendiri Girls Day Community itu lagi-lagi tersenyum manis, tetapi kala mata birunya melihat salah satu penantang dengan penampilan sangat kontras di tempat ini, dia lantas mendelik tajam, menyiratkan kebencian.
"Ada tiga kategori cowok yang menjadi target kali ini. Galak, gak peduli sama cinta-cintaan, dan cuek. Siapa yang berhasil berpacaran selama tiga bulan sama cowok yang nantinya menjadi target, takhta kepemimpinan GDC siap berada digenggaman."
Sontak mereka berdecak kagum dan juga iri, sangat menyayangkan tidak terpilih menjadi penantang. Jelas banyak yang tergiur dengan kepemimpinan GDC. Kelas sosial si ketua akan melejit dan disegani karena kesemenaannya pada kaum tak berani bersuara.
Namun, hal tersebut tak pernah melintas dalam pikiran Anila. Sebagai mahasiswa jurusan hukum dia pasti mati-matian melakukan apa saja untuk mempertahankan hak kebebasan setiap orang.
Penindasan telah menjadi sebuah budaya. Isu penyiksaan kaum lemah pada tiap angkatan pendidikan tak pernah menghilang dari radar pemberitaan. Semenjak kelas sebelas dulu, Anila sudah terjun langsung menangani mereka yang sok berkuasa, waktu itu dia bersama Mia—sahabat karibnya.
Gue gak pernah gagal membubarkan perkumpulan kayak gini. Gue pasti bisa, geramnya dalam hati.
***
Hunian bak istana seharusnya menjamin kebahagiaan seorang cowok berbibir tipis yang sedang menatap langit kelam tanpa bintang di atas sana. Namun, bangunan bertingkat bukanlah tolok ukur kesenangan setiap orang, tetapi suasana sebuah rumah yang tetap harmonis.
Jendra tersenyum sinis, kedua telapak tangannya mengenggam pembatas balkon kamar dengan erat. Entah sampai kapan dia harus seperti ini. Dia lelah terus menghindar, tak ada kenyamanan di tempat ini, tak pernah ada kehangatan semenjak sang ibu meninggal setahun lalu. Parahnya, enam bulan lalu sang papa memilih menikah bersama seorang janda satu anak.
Dia benci berada di rumah. Andai saja ibunya tak pernah memberi pesan agar tidak pernah meninggalkan papa, mungkin dia sudah angkat kaki ke tempat lain, mencari kehidupan baru.
"Bu, Jendra gak bisa terus di sini," adunya pada semilir angin. Kaca-kaca pada bola mata semakin tampak, sebentar lagi akan luruh. Akan tetapi, suara derap langkah membuatnya urung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mistake ✓
Novela JuvenilAnila refleks memejam kala cowok beralis tipis itu menyejajarkan wajah, embusan napas dapat dia rasakan. Kerongkongannya semakin tandus, oksigen sulit diraup. Dalam hitungan detik bulu kuduk langsung meremang ketika mendengar sapuan suara di gendang...