Hari berganti begitu cepat, baru saja Anila merasa kesal karena semalam minumannya tumpah tanpa bisa diminum kembali, kini sinar mentari telah naik takhta, menjalankan tugas. Gadis itu melihat jam dinding di atas pintu kamar, ternyata masih pukul 07.35. Dia kembali membaringkan badan, tidak bermaksud tidur lagi, tetapi ingin menyusun strategi untuk menjalankan misi dari komunitas yang tak lama lagi berjalan.
Saat sedang asyik merenung, pintu berwarna abu-abu muda kamarnya diketuk diiringi suara wanita paruh baya. Dia bangkit, berjalan ke arah daun pintu, lantas membukanya hingga menampakkan wajah meneduhkan sang ibu.
"Kirain kamu belum bangun, Ibu hampir keluarin kunci serep kamarmu," kekeh Nintia di akhir kalimat.
Anila menyengir. "Udah kok, Bu. Ayah udah ke tempat laundry?"
Nintia mengangguk sebagai jawaban, setelah itu menyuruh anak semata wayangnya segera sarapan. Mereka berdua berjalan beriringan menuju ruang makan. Sadar akan sesuatu, perempuan itu menepuk pundak Anila.
"Aduh! Kaget, Bu," sebalnya.
Nintia langsung melempar pertanyaan tanpa memedulikan kekesalan sang anak. "Kamu gak ada jadwal kuliah? Ini hari Rabu, Nil!"
"Kuliah pagi dibatalin, Bu. Nanti siang ad, ya ampun!" teriak Anila saat mengingat jadwalnya pukul delapan nanti.
"Bu! Nila ada pertemuan komunitas jam delapan," paniknya sembari menggigit kuku, lalu kembali berlari ke kamar, tetapi Nintia sontak menahan tangannya.
"Mau ke mana kamu? Sarapan dulu!" Nada penuh suruhan menggema di dalam rumah, dalam hitungan detik dia menyeret anaknya dengan paksa dan menulikan telinga akan rengekan kecil minta dilepaskan.
***
Setelah memoles wajah dengan bedak tabur serta liptint, gadis berkaus putih kebesaran dipadukan jins seperempat berwarna biru dongker itu melesat keluar kamar, mengabaikan teriakan Nintia yang menyuruhnya berhati-hati. Dia bahkan tidak peduli dengan aksi mandi tiga kali guyuran saja. Baginya sikat gigi dan cuci muka sudah cukup mengiringi hari selama di luar rumah.
Setelah berhasil mengeluarkan motor matik berumur lima tahunnya, dia langsung melaju begitu saja, menghiraukan pagar yang belum dirapatkan. Arloji sudah menunjukkan pukul 08.15. Meskipun jarak antara rumah dan sekretariat komunitas tidak begitu jauh, tetap saja dia terlambat.
"Pikun banget, ya ampun," keluhnya sembari terus memacu kecepatan motor.
Tepat 08.25, dia tiba di hadapan sebuah bangunan berlantai satu yang tak begitu besar, dihiasi cat berwarna merah muda. Berbagai merek mobil terparkir di lapangan, samping rumah yang entah milik siapa. Hanya ada satu unit mobil di halaman rumah tersebut, tentu saja kendaraan milik pendiri komunitas.
Anila membiarkan motornya terparkir di bawah pohon mangga, tepat di seberang rumah, kemudian berlari-lari kecil memasuki bangunan tanpa pintu yang ditutup. Saat menginjakkan kaki di dalam sana, ternyata pertemuan belum dimulai. Dia sebenarnya sudah menebak hal itu, tetapi keterlambatannya merupakan bumerang bagi dirinya sendiri.
Tatapan-tatapan tidak suka langsung menyerang dari segala penjuru. Andai saja dia datang lebih dulu dan duduk dengan tenang, dia pasti bisa terhindar dari atensi penuh tekanan, seperti saat ini. Kurang dari lima menit, pertemuan pun dimulai. Anila refleks menarik kursi plastik ke posisi paling belakang, tanpa ada anggota lain di sebelah kanan dan kirinya.
Pembahasan berlangsung membosankan bagi Anila kala Bita, si pendiri GDC, bercerita panjang lebar mengenai si target. Namun, kebosanan itu seketika sirna berganti fokus yang begitu dalam.
Dia menatap tiga foto cowok yang terpampang melalui layar LCD di depan sana. Netranya merekam jelas tiap wajah-wajah asing itu dan ada satu wajah yang cukup familier.
"Kayak kenal," gumamnya. Netra kelam gadis itu menyusuri tulisan di bawah foto dan mendapati sebuah nama serta sikap si cowok.
"Rajendra Taurus Ragalih. Si cuek, sekali ngomong judesnya kelewatan."
Anila menghela napas, dia berdoa semoga bukan dia yang mendapatkan jatah cowok bernama Rajendra. Lebih baik berurusan dengan laki-laki galak daripada harus cuek dan judes. Hatinya bisa ambyar beribu-ribu kali, meskipun galak juga demikian. Akan tetapi, nasib buruk ternyata memang senang berpihak padanya kala Bita menyebut namanya, disandingkan dengan nama Rajendra.
"Pertama, Anila Reiva dengan Rajendra Taurus Ragalih. Si cowok dari Fakultas Ilmu Keolahragaan, semester enam. Selamat melaksanakan tantangan," jelas gadis bergaun merah darah dengan senyum culas saat menatap Anila.
Anila kontan membulatkan mata dan berteriak, "Gue?" Sadar akan kekonyolannya, dia mengulum bibir serta manggut-manggut pelan, meminta maaf.
Tanpa sadar dia mendengkus, mencoba mengingat-ingat wajah yang tampak akrab itu. Sepersekian detik dia langsung menutup mulut.
"Gak! Gak mungkin," lirihnya seraya menggeleng cepat, "gak mungkin dia."
***
Melangkah gontai mendekati meja kantin yang terisi oleh dua makhluk berbeda gender, Anila tidak tahan untuk segera menandaskan jus jeruk entah milik siapa di antara dua orang itu. Saat benar-benar tiba di tempat tujuan, tanpa rasa bersalah dia langsung menyeruput minuman berwarna oranye tersebut tanpa ampun, hanya tersisa es batu belum mencair seutuhnya.
Dia meletakkan gelas kosong ke atas meja dengan keras hingga menimbulkan suara nyaring. Beruntung, tak begitu banyak mahasiswa yang berkunjung ke kantin hari ini dikarenakan sebagian dari mereka masih berada di dalam ruangan, memenuhi perkuliahan pagi menjelang siang.
"Kebiasaan banget. Kasian si Dikta," tegur cewek ber-dress merah hati selutut, tepat di sebelah kiri Anila.
Anila memandang Dikta seraya menyengir lebar. Rasa bersalah jelas tak ada karena cowok itu pun tak pernah mempermasalahkan sikap seenak jidatnya.
Dikta tersenyum tipis seperti biasa saat mendapati budaya minum asal sahabat dari zaman SMA-nya. Percuma marah, toh gadis itu tidak akan memberikan perubahan signifikan jika berurusan dengannya ataupun Mia. Baginya, Anila dan Mia sudah seperti saudara kandung.
"Capek banget, ya, Nil? Dari mana?"
Dua pertanyaan lolos dari bibir tipis cowok berambut cepak di depan Anila. Gadis bermata bulat itu mengangguk cepat sebagai jawaban.
"Iya, Dik. Habis dari sekre komunitas. Eh, eh! Gue ada pertanyaan!" seru Anila kala mengingat cowok yang menjadi targetnya selama tiga bulan ke depan.
Sebenarnya dia tidak ingin membeberkan hal ini sekarang, tetapi dia tidak pernah tahan menyimpan sesuatu begitu lama kepada dua sahabatnya. Perasaan menggebu-gebu mengelilingi hati dan merayu mulut agar segera memberitahu.
Setelah mengembuskan napas berat, dia lalu berucap, "Gue udah tahu target gue. Rajendra Taurus Ragalih. Lo berdua tau orangnya?"
Raut terkejut jelas terpampang di wajah Dikta. Bagaimana tidak? Nama itu adalah nama kakak tirinya, dan Anila harus berurusan dengan cowok cuek serta judes itu?
Memang tak ada yang mengetahui prihal dia dan Jendra adalah saudara tiri, dia tidak berminat untuk mendeklarasikan. Jendra jelas tidak pernah menginginkan kehadiran dirinya bersama sang ibu.
"Mundur, Nil!" perintah cowok bermata kelam dengan suara berat itu. Ya, dia tidak pernah meninginkan Anila berada di lingkungan GDC. Sudah cukup misi favorit yang selalu dijalankannya bersama Mia kala SMA dulu. Mereka bertiga sudah bukan di zaman itu lagi.
"Gue setuju sama Dikta. Gue pernah denger kalau si Jendra dari jurusan keolahragaan itu cuek terus judes," tambah Mia, berusaha membujuk sahabatnya yang terlalu keras kepala.
Anila mengangguk setuju. Dia memang ingin mundur saat mengetahui bahwa orang yang sudah dua kali dia tabrak adalah targetnya, tetapi idealisme terlalu kuat. Dia akan menyesal jika tidak berusaha meruntuhkan komunitas itu.
"Sori, nih, kesayangannya gue. Gue harus lanjut, lo berdua, kan, tau kalau gue gak bisa mundur kalau soal basmi-membasmi hama modelan manusia kayak mereka."
❌
Balik lagi bersama Anila si mata bulat.
Happy reading.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mistake ✓
Teen FictionAnila refleks memejam kala cowok beralis tipis itu menyejajarkan wajah, embusan napas dapat dia rasakan. Kerongkongannya semakin tandus, oksigen sulit diraup. Dalam hitungan detik bulu kuduk langsung meremang ketika mendengar sapuan suara di gendang...