-19-

482 44 12
                                    

Tangan bergetar hebat, bulir keringat memenuhi jidat. Anila memejam seraya mengigit bibir kuat-kuat. Akhirnya apa yang dia takutkan benar terjadi.

"Jelaskan apa semua ini Anila!" Nada tegas Yasa membuat nyali si gadis semakin menciut, ditambah kehadiran Jendra di dekatnya semua terasa semakin berat.

Tak ada kata yang mampu terucap dari bibir mungil Anila selain isakan-isakan. Kelu lidah dan otak tak mampu bekerja sebagaimana mestinya. Mata pun tidak sanggup menatap kedua orang tuanya. Melihat kekecewaan dan air mata itu sungguh semakin membuatnya kehilangan arti hidup.

"Nila ... minta maaf," lirihnya.

Anila pasrah, apa pun hukuman yang diberikan akan dia terima. Berbagai konsekuensi tentu 'kan menyambangi hidup, itulah rentetan kisah yang harus dilalui.

"Kejadian yang menimpa Anila murni karena kesalahan saya, Om. Saya mohon maaf dan akan bertanggung jawab." Meski sempat gentar, Jendra tetap bertindak sebagaimana mestinya. Tidak peduli jantung yang seperti ingin melorot dari tempatnya saking berdegup kencang.

Sebagai bentuk permintaan maaf dia hanya bisa menapakkan kedua lutut di atas lantai dan berucap penuh sesal. Bagaimanapun juga gadis di sampingnya sama sekali tidak bersalag. Jika ada yang patut disalahkan, Jendra orangnya. Tidak seharusnya dia menarik gadis itu ke dalam peliknya kehidupan yang dia hadapi.

Nintia membekap mulut, sudah tidak tahan melihat dan mendengar kenyataan pahit yang tersuguh. Tanpa memeluk, menguatkan, bahkan menyapa sang anak, dia berjalan terburu-buru meninggalkan ruang tamu dan membiarkan Yasa menghadapi semuanya. Ibu mana yang tak kecewa? Dia butuh waktu untuk menerima apa yang terjadi.

Anila semakin terisak, tidak ada sosok ibu lagi yang selalu menguatkannya. Sekali lagi, inilah salah satu konsekuensi. Mau tidak mau dia harus menguatkan diri sendiri. Masih banyak kenyataan pahit yang belum dicicipi.

Sementara itu, Yasa terus memandang sengit pemuda berusia dua puluh satu tahun yang tengah bersimpuh meminta maaf setulus-tulusnya. Penyesalan 'kan datang di akhir, dia tahu. Akan tetapi, pengakuan Jendra sama sekali tak dapat memadamkan api kemarahannya.

"Pergi kalian dari sini. Saya tidak mau melihat kalian lagi. Dan kamu Anila, meskipun kamu anak di rumah ini, tapi kamu sudah mencoreng nama baik keluarga. Ayah sangat kecewa sama kamu." Tak ada belas kasih. Emosi merenggut seluruh kewarasan.

"Pergi kalian!" teriak Yasa.

"Ayah, maafin, Nila," isak gadis itu seraya memegang kaki Yasa dan berakhir ditepis kasar.

Jendra sontak berdiri dan menarik Anila pergi bersamanya. Untuk saat ini biarlah berakhir buruk, yang terpenting adalah menenangkan gadis dipelukannya. Mereka meninggalkan rumah keluarga Yasa dengan berat hati.

Entah sudah ke berapa kali Anila hampir terjatuh, tetapi selalu berakhir dalam pelukan Jendra. Sulit sekali meninggalkan tempat ini. Namun, sudah tak ada alasan untuk menetap.

***

Belum ada sepatah kata keluar dari mulut gadis berambut sebahu itu. Jendra membuang napas panjang. Semua terjadi begitu tiba-tiba. Hingga akhirnya di sini mereka berdua berakhir. Berada dalam satu apartemen tanpa pernah terprediksi sebelumnya.

Nasihat kedua sahabatnya sangat membantu. Awalnya dia ingin lari dan menghilang, tetapi ada perkataan yang sungguh menampar hatinya.

"Meskipun lo gak sadar waktu lakuin itu, tetap aja lo perlu tanggung jawab. Bayangin aja kalau tiba-tiba lo ngilang tanpa kabar dan lo sama sekali gak pernah hubungin Nila sejak kejadian itu. Empati, Ndra. Tempatin diri lo sebagai seorang bapak jika tahu anak gadis satu-satunya hamil dan yang hamilin malah kabur."

Jendra menatap Anila yang tengah meringkuk di atas sofa. Dia bingung harus memulai percakapan dari mana. Rasa bersalah, berita bahwa gadis di depannya tengah hamil darah dagingnya, dan berakhir diusir karena keberengsekannya.

"Berpikir jernih, Ndra. Biar pun lo lagi tertekan. Dari masalah ini lo ditempa jadi dewasa."

Seketika nasihat Darash waktu itu terngiang dalam benak. Ya, dia harus tenang terlebih dahulu. Orang tertekan tanpa bisa mengendalikan emosi menghadapi orang yang lebih tertekan akan membuat suasana semakin runyam, bukan?

Cowok berkaus hitam polos itu mencoba mengembangkan senyum, tetapi detik berikutnya malah menepuk kepala. Sangat aneh jika menampilkan senyum terbaik saat ini, Anila sedang membutuhkan bahu, bukan senyumnya. Lagi-lagi dia membuang napas. Untuk pertama kali dia harus berlapang dada menyediakan bahu untuk seorang gadis.

Jendra mengangguk mantap, lalu berpindah duduk di sebelah Anila yang tengah meringkuk tanpa mau mendongak. Isakan gadis itu semakin terdengar dan cukup membuat Jendra semakin bersalah.

"Nil ... jangan nangis. Untuk sementara lo bareng gue dulu, ya," ucap Jendra sehati-hati mungkin. Tangan yang awalnya ingin mengusap kepala si gadis malah berakhir menggantung di udara. Ya, keinginannya hanya berhenti di niat.

Anila tidak mengubah posisi sama sekali, malah cewek itu semakin mengeraskan tangis. "Ibu gak mau lihat gue, ayah ngusir gue. Itu semua salah lo." Dengan suara bergetar hebat dan serak akibat menangis terlalu lama, dia menatap Jendra.

"Maaf," lirih cowok itu. Susunan kata yang sempat dirangkai menguap begitu saja kala Anila menatapnya dengan tatapan putus asa, kehilangan harapan. Hatinya tersentuh, tidak tahu mengapa dia malah ingin ikut mengeluarkan air mata.

Tanpa berkata apa-apa, dia memeluk erat gadis itu. Tak ada perlawanan sama sekali, hanya saja Anila tidak membalas pelukan Jendra.

"Ini semua salah lo ... salah lo ...," bisik Anila.

Jendra mengangguk dan semakin memeluk gadis bermata bulat itu, seakan tidak menginginkan Anila pergi. Dia sendiri tidak tahu mengapa meminta hal demikian.

"Gue janji gak bakalan ninggalin lo. Gue di sini untuk lo, Nil."

Anila tak menjawab, dia malah membalas dekapan Jendra sekuat mungkin. Dia takut sendiri. Dua takut tak ada orang yang memilih tinggal di sisinya. Dia takut semua orang meninggalkan dirinya sendiri ... dan berakhir melupa.

"Jangan tinggalin gue," isaknya semakin keras. "Gue hamil, gue gak mau anak ini mati. Gue gak mau dosa lagi."

"Gue di sini, jangan takut. Kita rawat anak ini sama-sama."

***

Hari terus berganti, jarum jam tidak pernah lelah mengitari angka demi angka untuk memenuhi dua puluh empat jam. Begitu pula Anila, tak pernah lelah memperhatikan janin di dalam perutnya. Seminggu telah berlalu, meskipun keadaan gadis itu perlahan membaik, tetap saja rasa rindu terhadap keluarga semakin membuat dadanya sesak.

Dia mulai bisa menerima takdir yang menimpanya. Baik dia dan Jendra sama-sama melakukan kesalahan. Dia harus fokus ke masa depan, hidup terus berjalan maju dan tak pernah mundur untuk menyesali apa yang telah terjadi. Kehidupan adalah tentang menjajaki tapak takdir.

"Nil, sarapan dulu." Jendra berteriak dari dalam dapur, memanggil Anila yang tengah menyusun majalah-majalah kesehatan di depan televisi.

"Tambah hari tambah perhatian terus," kekeh Anila di akhir kalimat. Meskipun sering tertawa, mata sembab gadis itu tidak pernah membohingi apa yang sebenarnya Anila rasa.

Jendra memutar bola mata malas. "Gak mau diperhatiin sama cogan?"

"Idih cogan. Lo itu cocuk."

"Cocuk?"

"Cowok cuek," jawab gadis itu seraya meraih sepiring nasi goreng buatan Jendra.

"Semenjak lo di sini kadar kecuekan gue berkurang tau. Kembalikan sikap cuek gue!" seru cowok itu.

Anila tertawa dan malah melipir ke depan televisi. Dia hanya tidak ingin Jendra melihat wajahnya yang tiba-tiba memerah. Semua terasa aneh kala seniornya itu menjadi hangat. Mungkin dia hanya belum terbiasa. Ya, belum terbiasa.

***
22/06/2021
.
Sepertinya cerita ini akan sedikit berbeda dari sebelumnya. Buat readers yang pernah baca, kalau kalian penasaran, boleh, kok, dibaca lagi.

Happy reading.

Mistake ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang