-HAPPY READING-
"Kamu menebak akhir ini akan sangat menyakitimu hingga kamu mengorbankan perasaanmu.
Kamu mengorbankannya tanpa tahu itu akan berakhir melindungi perasaanmu atau justru berakhir lebih menyakitkan."
"Gue terlalu tenggelam sama sikap Kak Firlan sampe gue ngelupain hal yang paling gue pengen tau," ucap Rachel memandang lurus ke depan.
Silvia dan Jena yang bingung, ikut melihat ke arah pandangan Rachel. Keduanya mendapati Alissa yang tengah berbincang dengan Firlan. Mereka menghela napas panjang saat menyadari semua yang mereka katakan tadi berakhir sia-sia.
Sebenarnya mereka berdua tidak melupakan keberadaan Alissa yang seperti memiliki sesuatu dengan Firlan. Namun sikap Firlan pada Rachel membuat mereka yakin kalau hubungan Alissa dan Firlan tidak seperti yang dulu mereka pikirkan.
Tentu saja lain halnya dengan Rachel yang kini kembali memikirkan keduanya. Seolah hal yang tadi baru membuatnya yakin hilang begitu saja.
"Mereka ngga ada apa-apa," ucap Silvia kembali menatap Rachel.
"Iya, paling ngga, ngga lebih dari lo sama Kak Firlan," timpal Jena.
Rachel mengalihkan pandangannya dari dua orang yang kini mengganggu pikirannya. "Gue keknya emang harus nahan perasaan gue."
Jena memejamkan matanya lelah sedangkan Silvia memutar bola matanya malas. Mereka kembali dihadapkan dengan Rachel yang bimbang.
"Kalo ngga, coba tanyain aja," usul Silvia.
Rachel menggeleng pelan. "Dapet nyali darimana gue sampe berani nanya langsung."
"Ya daripada lo cuma berasumsi doang," cibir Silvia.
"Gue gapapa, ini berarti bukan waktunya gue aja buat baper sama Kak Firlan," ucap Rachel lalu tersenyum.
"Jadi, sekarang lo mau gimana? Tenggelam sama pikiran jelek-jelek lo itu?"
Perkataan yang keluar dari mulut Jena itu membuat Rachel mengangkat pandangannya lalu melirik sekilas ke arah Firlan dan Alissa yang masih berbicara. Matanya tanpa sengaja bertatapan dengan Alissa.
"Gue rasa gue mau jaga jarak dulu dari Kak Firlan. Gue ga nyaman deket dia kalo keinget Kak Alissa."
"Ya, tinggal ga usah lo inget aja," cetus Silvia.
"Gue ngerasa ada yang salah aja kalo gue deket Kak Firlan tanpa kepikiran Kak Alissa, apalagi sekarang gue udah bener-bener kepikiran," kata Rachel lalu menghela napasnya.
Silvia berdecak. "Lagian ya, Kak Alissa ga pernah tuh datengin lo bahas tentang lo yang deket sama Kak Firlan. Berarti dia gaada masalah, kan?"
Jena mengangguk setuju dengan ucapan Silvia.
"Bukan berarti kalo dia ga datengin gue, dia ga ada masalah, kan?" balas Rachel.
"Lo nethink mulu, terlalu banyak yang lo pikirin," desis Silvia sebal.
"Bukan berarti lo harus jaga jarak dari Kak Firlan dan ngorbanin perasaan lo," ucap Jena membalas Rachel.
"Gue jaga jarak biar gue nanti ga jatuh terlalu dalam. Paling ngga gue kek udah masang pelindung biar ga terlalu sakit nantinya."
Jena mengendikan bahunya. "Ya, itu bisa ngelindungin lo atau mungkin bikin lo makin ngerasa sakit. Ngga ada yang tau, kan?"
***
Rachel menyusuri koridor menuju aula setelah kembali ke kelasnya untuk mengambil kotak pensil Silvia yang tertinggal di laci. Setelah latihannya selesai tadi, ia mendapati pesan dari temannya itu untuk mengambil kotak pensil itu karena di dalamnya terdapat flashdisk berisi tugas mereka yang belum rampung dan harus dikumpulkan besok pagi.
Ia mengecek ponselnya melihat jam yang tertera lalu memutuskan duduk di bangku yang tak jauh darinya. Saat ini ia tengah menunggu Revano yang tengah membereskan lapangan basket.
Ingatannya kembali berputar, mengingat kembali hal-hal kecil yang dilakukan Firlan padanya. Ia tersenyum kecut memikirkan semua itu. Hal kecil yang mampu membuat ia tersenyum sepanjang hari sepertinya ia tidak akan ia dapatkan lagi.
Rachel merasa harus menjaga jaraknya dari Firlan sebelum mengetahui semuanya. Ia merasa tidak nyaman jika teringat Alissa saat ia mendapatkan semua itu. Rasanya ada yang mengganjal karena ia menikmati perlakuan kecil Firlan yang dari dulu ia harapkan terjadi padanya.
"Rachel."
Suara itu berhasil membuat dirinya kembali tersadar dari lamunannya. Ia mengangkat kepalanya, memandang orang yang sedaritadi berada di pikiran tengah berdiri di depannya. Senyum yang terukir di wajah laki-laki itu mampu membuat hatinya berdesir.
"Jangan melamun," ucap Firlan diakhiri senyum kecil lalu mengacak puncak kepala Rachel.
Rachel menepis tangan Firlan lalu dengan cepat bangkit berdiri. Tepisan itu membuat laki-laki di hadapannya tersentak. Ia memberanikan diri untuk menatap mata Firlan yang tengah memandangannya bingung.
"Kenapa—"
"Kak, gue rasa kita harus balik lagi kek dulu..." Rachel menggelengkan kepalanya cepat, "maksud gue, kita ga bisa sedeket ini, gue ga nyaman," ralatnya.
"Kenapa?" tanya Firlan masih menatap Rachel yang kini kembali mengalihkan pandangannya.
"Gue harap Kak Firlan bisa berenti bersikap kek gini. Gue ga nyaman, gue sempat bilang kan waktu itu, kalo Kakak ga perlu ngelakuin ini karna rasa bersalah."
Rachel mengambil tas lalu melangkahkan kakinya pergi dari sana. Namun tangan Firlan jauh lebih cepat mencekal pergelangan tangannya.
"Gue ga ngelakuin ini karena gue ngerasa bersalah sama lo," ucapnya.
Rachel mengigit bibir bawahnya menahan diri untuk tidak mengatakan hal yang sebenarnya mengganggu dirinya. Ia menggerakan bola matanya ke atas menahan emosi yang seperti akan keluar saat itu juga sebelum membalikan badannya.
"Oke, kalau gitu Kak Firlan tetep harus berenti karna gue ga nyaman."
Ucapan yang keluar dari mulut Rachel seolah pukulan yang membuat Firlan tidak bisa berkutik. Ia tidak mampu mengeluarkan suara untuk sekedar melontarkan hal yang memenuhi di pikirannya.
Rachel dapat merasakan cekalan pada pergelangan tangannya melonggar. Ia melirik sekilas sebelum akhirnya melangkahkan kakinya pergi meninggalkan Firlan yang terdiam.
Rachel mengepalkan kedua tangannya erat hingga kukunya menancap ke telapak tangannya. "Gapapa, ini salah satu langkah biar lo ngga terlalu sakit nantinya," ucapnya dalam hati, menenangkan hatinya yang sesak.
Thank u for reading till the end of this part.
See you in the next part :)
KAMU SEDANG MEMBACA
On The Road
Teen Fiction• c o m p l e t e d • Rachel berpikir, kalau masuk ke tim basket sekolah, ia otomatis akan dekat dengan Firlan, orang yang ia sukai. Namun di tengah jalan, ia harus menelan kepahitan atas tamparan realita yang menampar keras dirinya. Entah dengan...