-HAPPY READING-
"Jangan dibutakan oleh kesan yang terbentuk oleh pikiranmu sendiri hingga merasa bahwa orang itu akan selalu sesuai ekspetasimu."
Rachel menenggelamkan wajahnya ke lipatan tangannya. Memorinya terus mengulang kejadian kemarin sore yang sama sekali ia tidak mengerti. Ia berusaha menganggap perkataan Gavin saat itu sebagai candaan. Namun, ia tidak bisa menepis keseriusan Gavin saat itu sebagai candaan. Terlebih sejak kejadian itu, ponselnya dipenuhi notifikasi pesan dan telepon oleh Gavin.
"Lapar," gumamnya. Ia mengangkat wajahnya dan menatap ke penjuru kelas yang cukup sepi karena jam istirahat. Dengan malas, ia membuka ponselnya dan meminta kedua temannya untuk membelikannya susu taro. Ia berdecak ketika melihat balasan kedua temannya untuk menyusul ke kantin karena keduanya tidak membawa uang lebih untuk membeli susu taronya.
"Akal-akalan lo pada sialan banget," desisnya tetapi ia tetap beranjak dari kursinya dengan malas.
Rachel berharap ia tidak bertemu Gavin selama perjalanannya ke kantin. Ia bingung apa yang akan ia lakukan jika berhadapan dengan orang yang sejak kemarin ia hindari. Dibalik bingung, ia juga marah dengan Gavin. "Gue ke koperasi aja deh," katanya pelan lalu memilih berbelok ke belokan koridor yang tidak terlalu ramai.
Ia tersenyum ketika berhasil memberi susu taronya tanpa kendala apapun yang ia takutkan. Dengan cepat, ia beranjak pergi sembari meminum susu kotak itu. Belum sampai sepuluh langkah ia beranjak dari koperasi, ia harus berpapasan dengan orang yang ia hindari.
"Rachel." Rachel menggigit sedotan kotak susunya ketika mendengar Gavin memanggilnya. Ia melihat Gavin sekilas lalu kembali berjalan dengan cepat.
"Gue mau ngomong bentar sama lo," ucap Gavin mengikutinya.
"Gue rasa ga bisa deh. Lo tenang aja, gue ga marah lo pacaran."
Gavin menarik lengan Rachel pelan. "Lo marah kemarin."
Rachel terkekeh singkat lalu mengibas tangannya pelan. "Gue kaget doang kemarin," ucapnya singkat, "dan gue rasa lo ga boleh deket-deket gue lagi deh habis ini, ntar pacar lo salah paham."
"Gue bisa putus sama dia kalo lo mau," kata Gavin sebelum Rachel kembali melangkah. Mendengar itu, Rachel menatap Gavin tidak percaya.
"Lo gila, ya? Gue udah bilang gue gapapa lo pacaran sama dia!" tukas Rachel.
"Tapi lo marah, gue bi—"
"Gue marah karna lo udah punya pacar tapi masi nembak cewek lain," Rachel menatap tajam Gavin, "Lo pikir, gimana perasaan pacar lo!" bentaknya. Ia menatap Gavin yang terdiam dan menghela napasnya pelan, berusaha menahan amarahnya. "Apa sih yang ngembuat lo nembak gue? Gue cocok banget gitu jadi pacar lo? Ralat, salah satu pacar lo."
Gavin menggeleng cepat. "Ngga gitu, sumpah. Dia belum jadi pacar gue."
Rachel mengangkat salah satu alisnya lalu berdesis. "Terus? Kalo bukan ya udah, gue marah sama lo bukan karna lo pacaran." Ia menegaskan perkataannya cukup keras tanpa menyadari orang-orang mulai menatap mereka penasaran.
"Kita ngomongnya di tempat lain aja," ucap Gavin meraih pergelangan tangan Rachel.
Dengan cepat Rachel menarik tangannya dari Gavin. "Kata siapa gue mau ngomong sama lo." Ia menghela napasnya pelan saat mendapati Gavin menatapnya memohon. "Kalo gue mau ngomong sama lo, gue bisa langsung ke lo," ucapnya lalu beranjak pergi.
***
Rachel pikir setelah ia mengatakan itu, Gavin akan dengan tenang menunggunya. Namun ia justru terus bertemu dengannya dan menanyakan kapan ia akan mendengar penjelasannya. Bahkan dua hari ini, ia rela tidak ke kantin untuk menghindari Gavin. Walau terkadang Gavi secara langsung mendatanginya ke kelas sesekali.
"Rachel," panggil Natasya.
Rachel yang tengah memainkan ponsel itu menoleh dan mendapati kedua temannya kembali dari kantin. "Makasi," ucapnya saat menerima kotak susu dengan rasa taro dan sebuah roti dari Jena.
"Kak Gavin nanyain lo lagi," kata Natasya malas, "sebenernya lo berdua kenapa sih?"
"Lo sama sekali ga cerita sama kita," sambung Jena.
Rachel menatap santai kedua temannya bergantian dengan mulut yang mengunyah roti. Ia tersenyum sebentar lalu mengendikkan bahunya acuh. Salahnya karena belum menceritakan hal ini pada keduanya.
"Lo marah soalnya Kak Gavin pacaran sama yang lain? Lo marah soalnya dia udah move on sama lo? Duh, denger ya lo—"
"Kata siapa?" sela Rachel menatap tajam Natasya.
"Kak Gavin nanya 'Rachel masi marah?' ya, jelas cuma kesimpulan itu yang bisa gue dapet," jelas Natasya ringan.
"Kak Gavin salah sih, tapi bukannya lo ga harus marah?" timpal Jena.
Rachel berhenti memakan roti di tangannya dan menjatuhkan pandangannya ke meja. Ia tersenyum kecut menerima perkataan temannya. Tentu saja teman-temannya tidak salah karena ia sendiri yang tidak memberitahu keadaan sebenarnya. Tapi tetap saja ia kesal karena keduanya terlalu dibutakan dengan kesan Gavin yang tinggi di mata mereka. "Engga semua yang lo berdua pikir baik sebenernya baik."
"Kak Gavin selalu berusaha dapetin lo," kata Natasya yang diangguki Jena.
Rachel hanya diam mendengarkan ocehan mereka. Ia memilih bangkit dari kursinya dan beranjak pergi.
"Mau ke mana lo?" tanya Natasya menyadari Rachel berdiri.
"Minggat, beli susu taro lagi. Capek gue denger lo berdua," ketus Rachel. Ia berjalan keluar kelas dengan susu yang masih ia minum pelan. Tidak lama ia berjalan, matanya menangkap sosok Gavin yang tengah membelakanginya. "Bisa-bisanya sekali keluar langsung ketemu gitu," rutuknya.
Rachel memilih memutar badannya dan berjalan secepat mungkin dari sana sebelum Gavin menyadarinya. Ia berbelok ke arah koridor yang cukup sepi dan menoleh ke belakang, memastikan Gavin tidak ada di belakangnya. Tidak memperhatikan keadaan di depannya, tanpa sengaja Rachel menabrak orang di depannya.
"Anjir!" umpatan itu keluar begitu saja secara bersamaan.
Tubuh terdorong beberapa langkah ke belakang dan tangannya menggengam kotak susu itu dengan kuat hingga tumpah. Ia segera mengangkat wajahnya menatap punggung orang yang ia tabrak. "Eh, sorry, sorry, gue ga sengaja," ucapnya panik ketika melihat jaket hitam yang dikenakan orang itu basah seperti bajunya saat ini.
Orang itu membalikkan badannya dan bersiap mengumpat pada orang yang menabraknya. "Buta lo? Mata ga dipake?" tukas laki-laki itu sembari melepaskan jaketnya kasar.
"Gue ga sengaja," ucap Rachel panik, "gue cuci deh, eh laundry-laundry nanti gue ganti duitnya," lanjutnya ketika laki-laki itu justru diam sembari menatapnya.
"Udah gapapa," Ia melipat jaketnya, "baju lo tuh basah."
Rachel menatap bajunya yang basah dengan cairan ungu pudar dan bau taro. Ia menarik bajunya yang kini sedikit menerawang lalu kembali menatap ragu ke depan. "Gue minjem jaket lo boleh? Sekalian gue cuciin ntar."
Laki-laki itu memberi jaketnya yang langsung diambil Rachel untuk menutupi bajunya. "Gue balikin besok, lo kelas berapa?" tanya Rachel.
"Arsen, kelas sepuluh lima."
"Oke, besok gue balikin. Gue duluan!" ucap Rachel lalu berlari pergi.
Thank u for reading till the end of this part.
See you in the next part :)
KAMU SEDANG MEMBACA
On The Road
Teen Fiction• c o m p l e t e d • Rachel berpikir, kalau masuk ke tim basket sekolah, ia otomatis akan dekat dengan Firlan, orang yang ia sukai. Namun di tengah jalan, ia harus menelan kepahitan atas tamparan realita yang menampar keras dirinya. Entah dengan...