-4- On The Road

22 16 1
                                    

-HAPPY READING-

"Jika kamu berani jatuh cinta berarti kamu juga berani untuk mengucapkan selamat tinggal ketika saat itu datang."

Rachel merutuki dirinya sendiri saat ini. Ia berlari secepat mungkin ke arah gerbang yang saat ini terlihat sangat penting di hadapannya, namun sayang secepat ia berlari, secepat itu juga pagar itu tertutup. Dengan napas pendek-pendek, Rachel memohon pada satpam sekolahnya untuk membuka pagar.

"Sekali aja, Pak!" Rachel melirik jam yang berada di pos satpam, "Saya baru telat sepuluh menit, Pak," lanjutnya dengan kedua telapak tangan disatukan.

"Ngga boleh, Neng. Peraturan tetap peraturan," tolak satpam berjenggot tipis itu. "Lagian siapa suruh telat, Neng. Jam masuk sekolah itu jam enam kurang limabelas menit, sekarang udah jam tujuh lewat sepuluh. Ga bisa dikata telat sepuluh menit lagi," lanjutnya saat telah duduk di kursi keramatnya.

Rachel tetap memohon. "Pak, sekali aja. Saya baru pertama kali telat kayak gini."

Satpam itu hanya menggeleng pelan, tetap menunggu guru piket yang sebentar lagi datang. Hal ini membuat Rachel berdecak kesal dan pasrah dengan keadaannya.

Pagi tadi, Rachel terbangun saat pintunya digedor kuat seakan sebentar lagi akan didobrak. Ia mendapati Ibunya tengah memasang wajah garang. Ibunya masuk dan mengambil jam beker yang berada di nakas sebelah tempat tidurnya lalu melemparnya di sampingnya, saat itu juga ia sadar akan keterlambatannya. Ia menyesal tidur larut malam karena memikirkan maksud Alissa saat latihan hari itu. Lebih parahnya lagi, Revano telah berangkat ke sekolah lebih dulu.

Rachel menatap dirinya sendiri dari atas sampai ke bawah. Dasi yang masih belum diikat, baju sekolah yang tidak lagi rapi, kaos kaki yang belum sepenuhnya ditarik ke atas, dan tali salah satu sepatunya yang belum terikat. Untung saja Rachel memiliki kebiasaan membereskan buku sepulang sekolah, kalau tidak entah seribet apalagi paginya hari ini. Ia merapikan dirinya dengan bergerutu kesal.

"Mana cuma gue lagi yang telat," gumamnya saat mengedarkan pandangan ke sekitarnya. "Apa gue balik ke rumah aja, ya? Nanti minta Papa kirimin surat ke sekolah kalo gue sakit," lanjutnya.

"Siapa yang sakit?" tanya guru perempuan dengan bingkai kacamata bulat itu dengan sinis.

Rachel berbalik dan menyadari guru piket itu mendengar dirinya bermonolog. Ia panik tidak tahu akan menjawab apa. "I-itu becanda doang, Bu. Saya orangnya anti bohong."

Guru itu menatapnya tajam membuat pagar yang sedang dibuka itu seolah-olah bergerak slow motion. Rachel hanya terus berdoa dalam hati agar gurunya itu berhenti menatapnya dan dengan ajaib melepaskannya untuk kali ini.

"Sini kamu!" perintah Ibu guru itu yang ia sama sekali tidak tahu namanya.

Harapannya sirna ketika guru piket itu membawanya ke taman sekolah yang cukup besar. Dapat Rachel lihat, tumpukan daun yang telah dikumpul bertumpuk dimana-mana.

"Kamu pungut semua daun itu terus masukkan ke dalam karung di sebelah sana," ucap Ibu itu sembari menunjuk beberapa karung yang berada di bawah pohon.

Rachel mengangguk pasrah sebagai tanggapannya dan mulai berjalan mengambil karung. Ibu itu terus memantaunya hingga lima tumpukan daun telah dibersihkan oleh dirinya. Guru piket itu melihat jam tangannya lalu berkata, "Kamu kerjakan ini sampai di bawah pohon ruang kepala sekolah. Ibu balik lagi nanti, jangan coba-coba kabur." Setelah itu gurunya pergi begitu saja.

Mata Rachel menyusuri taman dan menghela napasnya ketika menyadari masih banyak tumpukan yang harus ia pungut. Ia melirik ke arah guru yang telah membelakangi dirinya. Saat sudah tidak terlihat lagi, Rachel duduk di bangku taman yang berada di dekatnya.

On The RoadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang