-HAPPY READING-
"Tidak ada keputusan yang salah walaupun orang lain menganggapnya suatu kesalahan. Dengan keputusan itu, justru kamu mendapatkan sebuah pelajaran baru untuk hidup lebih baik kedepannya."
Angin berhembus, meniup beberapa helai poni milik gadis yang sedang duduk menatap taman di depannya. Rachel menghela napasnya untuk kesekian kalinya dengan pandangan kosong. Kebisingan anak-anak lain di kantin pun tidak mampu membuat ia tersadar dari lamunannya.
"Apa gue undurin diri aja, ya?" ucapnya tiba-tiba menatap kedua temannya.
"Ngomong juga nih anak," kata Natasya melirik kesal Rachel.
Rachel tidak meresponnya, ia cukup sadar kalau Natasya sama sekali tidak suka kalau ia berdiam. Ia menatap Jena, mengharapkan jawaban dari pertanyaannya tadi. Dengan mulut yang masih mengunyah roti, Jena menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.
Rachel menghela napas gusar. "Gue mendadak ragu."
"Duh, lo tuh udah mikir ini seharian kemarin. Lo udah kasi tau Tania juga tadi pagi, masa sekarang ragunya?" Natasya menggelengkan kepalanya dramatis.
Rachel menutup matanya sebentar sembari menarik napas dalam. Kemarin setelah seharian memikirkan perkataan Firlan dan dukungan dari kedua sahabatnya, Rachel memutuskan untuk mencoba. Ia bahkan langsung memberitahu Tania mengenai keputusannya saat ia bertemu Tania tadi pagi.
"Lo harus yakin sama keputusan lo," kata Jena lalu meneguk air mineralnya.
"Gue jadi ga yakin gue bisa ngejar ketinggalan gue. Gue rada nyesel mutusin ikut enampuluh persen gara-gara Kak Fir—"
"Rachel!" Rachel menoleh ke sumber suara dan mendapati Tania sedang berjalan menghampirinya.
"Kenapa?" tanya Rachel dengan senyum canggung. Ia berpikir untuk mengatakan pada Tania bahwa dia tidak jadi ikut masuk ke tim.
"Habis ini, kumpul ke lapangan indoor, mau nyatat anggota sama umumin jadwal latihan kayaknya," Tania menepuk pundak Rachel, "Gue ingetin aja, gue ga terima penarikan keputusan, kayaknya gue udah bilang tadi pagi, ya?"
Rachel menelan ludahnya, Tania seakan telah membaca pikirannya. Ia tidak lupa ucapan itu tentu saja, tapi ia menganggap itu sebagai candaan. Ya, hanya dia.
Rachel terkekeh kaku, "Siapa juga mau ngundurin diri."
"Oke deh, gue cabut dulu. Gue tunggu di lapangan, ya," kata Tania dengan senyum cerah lalu beranjak pergi.
Jena tersenyum mengejek, "Nah, kagak bisa undur diri lo."
"Udah sana ke lapangan indoor, Rachel tersayang," sambung Natasya.
Rachel berdecak lalu bangkit dari kursinya, menatap kedua temannya itu melambaikan tangan padanya. Ia berjalan menyusuri koridor dan sesekali membalas sapaan orang yang ia kenal.
"Apa gue kabur aja? Kalo gue ga ikut ngumpul, gue ga bakal ditulis jadi anggota," gumam Rachel lalu mengangguk-anggukkan kepalanya menyadari idenya yang bagus.
Rachel menatap tangga di depannya. Ia memutuskan untuk kabur ke di lantai dua agar Tania sulit menemukannya. Baru saja ia menaiki satu anak tangga, ada suara yang mengagetkannya, sontak Rachel menoleh.
"Mati gue," gumamnya saat mendapati Firlan dan Gavin yang menatapnya bingung.
"Lo ga ke lapangan? Gue denger lo ikut," tanya Firlan bingung.
"Oh, a-anu gue mau ke UKS bentar," bohong Rachel melirik ke arah tangga yang ingin ia naiki segera.
"UKS? Ga salah lo? Baru kemarin deh anak PMR bilang UKS lantai dua direnov," ucap Gavin dengan tangan terlipat.
KAMU SEDANG MEMBACA
On The Road
Teen Fiction• c o m p l e t e d • Rachel berpikir, kalau masuk ke tim basket sekolah, ia otomatis akan dekat dengan Firlan, orang yang ia sukai. Namun di tengah jalan, ia harus menelan kepahitan atas tamparan realita yang menampar keras dirinya. Entah dengan...