-HAPPY READING-
"Karena kita adalah orang yang mencintai secara sepihak, maka kita harus rela menjadi pihak yang tersakiti."
Revano melirik ke arah pintu kamar Rachel yang tertutup rapat ketika ia keluar kamarnya. Sepulang sekolah tadi, Rachel tidak berbicara apapun dan langsung masuk ke kamarnya. Ia yakin adiknya itu tengah meratap sendirian dengan bergelung di dalam selimutnya. Dengan keberaniannya, ia membuka pintu kamar itu perlahan.
"Rachel," panggilnya dan menutup kembali pintu itu pelan agar tidak menimbulkan suara. Tidak mendengar jawaban, ia melemparkan dirinya ke arah gulungan selimut yang terdapat Rachel di dalamnya.
Ia tersenyum ketika Rachel berteriak dan memberontak. "Sakit bego!" pekik Rachel sembari mengerahkan tenaganya untuk menyingkirkan Revano yang ada di atasnya.
Revano memeluk kuat Rachel sehingga ia tidak bergerak. "Lo sembarangan nendang-nendang gue, ya!" teriak Revano ketika kaki Rachel menendang tangannya.
"Lepasin ga?" seru Rachel memberontak, "Gue sesek!"
Revano melepaskan dekapannya dan duduk memperhatikan Rachel yang keluar dari selimut itu.
Rachel menarik napas banyak-banyak lantas menatap tajam Revano yang tersenyum. "Ngapain lo ke kamar gue?" tanyanya keras lalu melempar boneka di sebelahnya ke arah kakaknya itu.
Revano menangkap boneka itu dan melemparnya balik, namun dengan cepat dihindari Rachel. "Patah hati masa diam di kamar doang, sih? Ga guna amat," cibir Revano.
"Sok tau lo," Rachel memutar bola matanya malas. "Udah sana lo keluar!" usirnya.
"Lembek banget, padahal dulu juga pernah disakitin—"
"Mulut lo emang ga ada akhlaknya, ya!" sela Rachel bersiap melempar boneka itu sekali lagi.
Cowok itu mengangkat dua jarinya menandakan damai. "Latihan basket, yuk," ajaknya.
"Ga mood," kata Rachel lalu menarik selimut, menutupi dirinya kembali. Namun sebelum selimut itu menutupi kepalanya, Revano menarik keras selimut itu.
"Patah hati lo males banget, ya." Revano mengejek sembari menggulung selimut itu hingga terlepas dari Rachel.
Rachel mengabaikannya dan tetap pada posisinya, berbaring miring membelakangi kakaknya. Ia terlalu malas menghadapi kakaknya itu. Tidak ada suara selama beberapa menit membuat Rachel penasaran apa yang dilakukan kakaknya. Pasalnya, ia tidak merasakan pergerakan kakaknya yang turun dari tempat tidurnya yang berarti ia masih duduk manis di belakangnya.
"Gue udah bilang sama lo," ucap Revano tiba-tiba lalu menghembuskan napas gusar, "Lo milih buat ga ungkapin, berarti lo bakal tersakiti... sendirian."
Rachel menelan ludahnya, tercekat dengan kata-kata kakaknya. Ia membalikkan tubuhnya, memberanikan diri menatap kakaknya.
"Lo mutusin kayak gitu dan pernah bilang lo bisa nahan rasa sakit lo nanti." Rachel menatap Revano yang berbicara tanpa ekspresi. "Jangan jadi orang bego, Rachel. Lo sakitin hati lo sendiri di orang yang sama berkali-kali."
Rachel membuang pandangannya ke arah lain, masih diam.
"Lo jadi pihak yang tersakiti karna pilihan lo sendiri," Revano menjeda kalimatnya, menarik dagu Rachel pelan untuk menatapnya, "dan lo bisa lepasin itu semua." Mata Rachel berair memandang Revano yang menatapnya sendu.
"Gue tau." Rachel menunduk, tenggorokannya seperti terganjal batu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
On The Road
Teen Fiction• c o m p l e t e d • Rachel berpikir, kalau masuk ke tim basket sekolah, ia otomatis akan dekat dengan Firlan, orang yang ia sukai. Namun di tengah jalan, ia harus menelan kepahitan atas tamparan realita yang menampar keras dirinya. Entah dengan...