-HAPPY READING-
"Aku ditengah peperangan dengan diriku sendiri. Ini tentang kamu, pada kamu, untuk kamu."
Rachel merutuki guru sejarahnya yang tiba-tiba meminta dirinya mengantarkan buku paket ke perpustakaan. Maksud Rachel, kenapa harus dirinya yang dimintai tolong ketika masih murid laki-laki yang juga berpapasan dengannya tadi? Apa hanya ia yang terlihat di mata guru yang bahkan belum tua untuk dikatakan memiliki masalah pengelihatan?
Rachel berjalan pelan berusaha menahan beban yang ada ditangannya agar tidak jatuh. Buku paket itu tidak banyak namun cukup membuat tangannya sakit.
Karena terlalu fokus dengan buku yang tingginya hampir menutupi matanya, ia tidak menyadari dari pintu di sebelahnya muncul seorang siswa hingga ia menabraknya. Rachel mengumpat lalu segera memunguti buku yang telah berserakan di lantai. Kesal tidak mendapat bantuan dari orang yang menabraknya, ia mulai mengeluarkan suara dengan kesal.
"Ga bisa lagi lo bantu mung—" Ucapannya terhenti saat pandangannya terangkat menatap orang yang ia tabrak.
"Eh, sorry-sorry, gue bantuin lo bawa deh," katanya dengan tangan yang segera membantu Rachel mengumpulkan buku-buku itu.
"Oh, ga usah, Kak," sahut Rachel cepat ketika semua buku itu sudah berada di tangan Firlan.
Firlan mengelak ketika Rachel berusaha mengambil alih buku-buku itu. "Gapapa, balesan gue nabrak lo."
"Ga usah Kak, tadi aku juga yang salah jalannya ngga liat ke depan," ucap Rachel tidak enak.
Tadinya ia ingin memaki orang yang menabraknya sekalian melampiaskan kekesalannya. Namun karena Firlan yang menabraknya, ia hanya bisa menelan bulat-bulat makian yang sudah berada di ujung lidahnya.
Firlan menggeleng lalu tersenyum. "Ini bawa ke mana? Perpus?"
Rachel terdiam menatap senyum yang dilempar Firlan. Rasanya sudah lama sekali ia tidak mendapatkan senyum itu. Hatinya yang sudah ia tata hampir runtuh hanya karena melihat senyum dengan lesung pipi sebagai pemanis.
"Ini bawa ke perpus, kan?" tanya Firlan lagi.
Pertanyaan itu berhasil membuat Rachel gelagapan karena baru saja kembali sadar.
"I-iya, perpus," jawabnya dengan anggukan kepala.
Firlan tertawa kecil lalu melangkahkan kakinya pelan dengan Rachel yang masih mengekori dari belakang. Ia tidak mengetahui gadis yang berjalan di belakangnya tengah berusaha bersikap biasa saja sebagai tindakan untuk menangani hati yang mulai berantakan.
***
Firlan menjejakkan kakinya ke lapangan basket setelah membantu Rachel membawa buku paket ke perpustakaan. Saat ini guru yang seharusnya mengajar kelasnya tengah pergi seminar hingga membuat kelasnya jam kosong. Sebelumnya ia telah mengirimkan pesan pada Revano untuk menghampirinya di sini.
Ia kembali tersenyum ketika teringat bagaimana ekspresi Rachel akan memakinya. Awalnya ia terkejut karena menabrak seseorang saat baru saja keluar dari ruang TU. Dan ia terpaku ketika mengetahui siapa yang ia tabrak. Tanpa sadar ia hanya menatap Rachel yang berjongkok memunguti buku-buku dengan kasar.
"Kenapa jadi sama-sama kaget," ucapnya pelan lalu tertawa kecil saat teringat raut wajah Rachel.
Ia memasuki gudang untuk mengambil bola basket. Ia tidak menemukan bola yang ia cari di troli yang biasa menjadi tempat menyimpan bola-bola besar lainnya. Matanya menyapu isi gudang yang ukurannya tak lebih dari 5x5 dan dipenuh dengan kardus dan satu rak besar. Ia bersiul ketika mendapati satu bola basket di antara kardus-kardus di pojokan gudang.
Tangannya terulur mengambil bola itu lalu memantulkannya, memastikan bola itu masih cukup bagus untuk dimainkan. Ia mendengar beberapa orang masuk ke lapangan basket yang ia yakini anak-anak basket. Baru saja akan keluar gudang, kakinya harus terhenti ketika mendengar kalimat yang menarik perhatiannya.
"Lo ada masalah apa sih sama Vano?"
"Iya, lo kenapa sama adeknya? Latihan kemarin ga enak banget anjir suasananya."
Firlan yang mendengar itu, dapat menyimpulkan itu adalah kawanan Gavin.
"Gitu deh. Vano kesel gue bikin adeknya sakit hati."
"Sakit hati gimana? Bukannya lo suka sama dia?"
"Suka pala lo, Gavin aja lagi deket sama cewe lain."
Dahi Firlan mengerut mendengar percakapan yang mulai terdengar tidak jelas itu. Apa katanya tadi, dekat dengan cewek lain? Setahunya Gavin terus mendekati Rachel.
"Nah itu dia. Gue ngomong suka sama dia terus besoknya dia tau gue sama cewe lain," kata Gavin ringan.
"Lah? Terus dia kesel sama lo?" Decakan terdengar. "Dia aja ga suka sama lo, kenapa jadi kesel gitu."
"Yaelah, lo kayak ga tau cewe aja, bro," ucap salah satunya lalu tertawa kecil.
"Awalnya dia fine denger gue sama cewe lain tapi gara-gara gue bilang gue masi suka sama dia, dia ngerasa gue sengaja ngomong gitu ke dia soalnya gue kasian sama dia," jelas Gavin.
"Sumpah lo? Gila lo berani banget anjir!"
"Gitu deh, gue bukan kasian, gue cuma pengen dia berenti ngarepin orang yang sama sekali ga bisa suka balik sama dia. Dia udah lama banget suka sama tuh cowo, eh taunya sekarang tuh cowo deket sama cewe lain."
"Siapa sih cowonya?"
"Itu si Firlan bukan sih?"
Firlan yang awalnya menatap bola yang ia mainkan di tangannya kini menatap kaget ke arah sumber suara. Tubuhnya menengang, terkejut dengan pendengarannya saat ini. Suara Gavin yang membenarkan membuat dirinya seperti terkena pukulan yang keras.
"Iya, Rachel udah lama banget suka sama Firlan, sampe-sampe ga bisa bales perasaan gue waktu itu."
Kedua tangan Firlan memegang kuat bola itu seolah membuat bola itu bisa saja pecah karena tekanan yang ia beri. "Ga mungkin."
Ia memejamkan matanya ketika teringat gerak-gerik Rachel saat berpapasan ataupun saat bersamanya. Hal yang selalu ia anggap biasa ternyata lebih rumit dari yang ia pikirkan.
"Kenapa gue selama ini ga sadar?" Pertanyaan itu terlontar tanpa sadar untuk dirinya sendiri.
Thank u for reading till the end of this part.
See you in the next part :)
KAMU SEDANG MEMBACA
On The Road
Teen Fiction• c o m p l e t e d • Rachel berpikir, kalau masuk ke tim basket sekolah, ia otomatis akan dekat dengan Firlan, orang yang ia sukai. Namun di tengah jalan, ia harus menelan kepahitan atas tamparan realita yang menampar keras dirinya. Entah dengan...