1 ☁︎ Masalah di Sekolah

5.9K 579 77
                                    

Pagi ini, langit tidak menunjukkan cerahnya. Warna awan di atas langit sana, redup bagaikan sedang merasakan sedih mendalam. Mungkin sebentar lagi, langit akan menangis, menyalurkan kesedihannya yang sudah lama ia tahan, sejak matahari tak ingin muncul.

Aldebaran masih memandang sendu langit itu, pakaian sudah sangat rapih, tapi ragu akan menyalakan motor besarnya itu, ia bisa saja basah kuyup saat sampai di sekolah nanti kalau memaksakan berangkat dengan motornya. Meskipun, motornya itu keren, tapi etap saja hanya motor yang tidak bisa melindunginya saat hujan.

"Al, berangkat sama ayah aja." Kalimat itu terdengar Aldebaran beberapa detik lalu, membuat laki-laki itu menoleh, menatap sang Ayah yang juga sudah rapih dengan pakaian kantornya.

Aldebaran tersenyum, kemudian mengangguk. Kemudian, ia dan sang Ayah melangkah menuju mobil ayahnya yang terparkir apik di garasi rumah. Kalau sudah urusan sang Anak, Damar tidak ingin menggunakan jasa sopir pribadinya. Intinya, ia sendiri yang akan bertanggung jawab atas keselamatan anaknya.

"Nanti Al pulangnya naik apa dong?" tanya Aldebaran, saat sudah setengah perjalanan.

"Ayah yang jemput," jawab Damar, sambil menoleh pada Aldebaran sebentar.

"Jam tiga sore ya, yah. Jangan sampai terlambat."

"Iya, tenang saja. Kamu telepon ayah, kalau ayah belum datang, takutnya kena macet."

Aldebaran mengangguk pasti, karena jarak kantor ayahnya dengann sekolahnya memang lumayan jauh. Tapi, untung saja ayahnya ini pemilik tunggal perusahaan yang ia bangun sejak masih kuliah. Perusahaan ayahnya ini sudah meluas hingga ke luar negeri, makanya Aldebaran rela ditinggal berminggu-minggu oleh ayahnya, asal bawa oleh-oleh.

"Ayah, habis pulang sekolah nanti boleh ke makam bunda?" tanya Aldebaran.

Damar mengangguk, "Boleh. Ayah juga kangen."

"Nanti libur dulu les privatnya boleh nggak?" Aldebaran bertanya lagi, sungguh hari ini suasana hatinya tengah tidak enak, ia ingin beristirahat sebentar, hatinya tengah merindu seseorang yang nggak akan pernah bisa kembali ke pelukannya.

Damar menghela nafasnya berat, "Ayah tau kok, kamu nggak suka sama gurunya."

Aldebaran menoleh, menatap ayahnya dengan kacamata bundar itu, "Kalau itu memang sudah dari dulu, tapi Al tidak mau les hari ini bukan karena itu."

"Hari ini tepat tujuh tahun bunda meninggal, iya kan?"

"Saat itu Al memang masih terlalu kecil, tapi kejadian itu kayak terus memutar di kepala Al. Seperti ... Al mengalaminya berulang kali."

Damar menghentikan mobilnya, ketika sudah smpai di depan gerbang sekolah Aldebaran. Sontak saja, Damar memeluk tubuh Aldebaran yang masih duduk sambil menundukkan kepalanya, kejadian itu memang yang paling menyakitkan di kehidupan sang Anak.

"Kenapa saat itu Al nggak bisa lindungi bunda? Kenapa saat itu Al malah diam saja melihat tubuh bunda dihantam mo—"

Damar mengelus punggung anaknya yang terasa bergetar, "Bukan salah kamu, berhenti menyalahkan diri kamu. Jangan diingat terus kejadian itu, harus ikhlas, biar bunda juga tenang disana. Tugas kamu doain bunda dari sini, oke?"

Pelukan itu terlepas, wajah Aldebaran belum kembali cerah, namun getaran ketakutan di tubuhnya sudah berhenti, setidaknya dirinya sudah membaik. Aldebaran menatap sang Ayah, ia tidak tau bagaimana caranya bisa sekuat sang Ayah, ia tau ayahnya juga sangat terluka akan kejadian maut itu.

"Sudah, kamu masuk sana, nanti malah terlambat."

Aldebaran mengangguk, kemudian mengambil tangan sang Ayah untuk ia salimi, "Assalamu'alaikum."

Ayah dan Al [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang