Ketika berita kematian itu hadir dalam sebuah keluarga, siap atau tidak mereka harus berhasil dalam menerimanya. Karena bukan hanya sekali, kematian itu akan selalu hadir seiring berjalannya waktu. Maka, tugas kita setelahnya bukanlah memikirkan seseorang yang telah pergi, namun menjaga apa yang masih dalam genggaman. Mengulangi penyesalan yang sama adalah hal yang paling menyesakkan sepanjang hidup.
Pagi itu, Lyara membuka matanya. Pemandangan pagi terasa masih sama seperti sebelumnya, bahkan ketika langkahnya berjalan menuju dapur, maniknya menangkap sosok yang sudah begitu lama tidak ia lihat. Lyara berjalan lebih cepat, agar dapat mendekap tubuh tegak anaknya itu.
"Al ... kok bisa?" tanya Lyara, tangisnya pecah begitu saja.
Awalnya Aldebaran hanya diam, hingga tangannya mengelus pelan punggung sang Ibu, "Pengen ketemu buna sebentar."
Lyara menangkup wajah anaknya lembut, "Bisa disini aja sama buna, sayang? Biar ayah nggak mikirin kamu terus, biar buna bisa peluk kamu terus."
Mendapat permintaan demikian, Aldebaran masih diam dengan senyuman manisnya. Laki-laki itu malah mempersilahkan Lyara untuk duduk di meja makan bersamanya. Tangan Lyara tidak dilepaskan dari Aldebaran barang sedikitpun. Tidak sanggup, Lyara tidak mau kehilangan Aldebaran lagi.
"Disini, Al cuman mau pamitan. Al harus pergi, buna. Al mau pergi ke Jogja sama bunda."
Tangis Lyara pecah lagi, kepalanya menggeleng pelan, "Buna nggak mau, Al. Semenjak kamu nggak ada, ayahmu kangen banget. Bahkan, buna nggak bisa mengobati kangennya ayah ke kamu."
Aldebaran yang kini menggeleng, "Nggak bisa, buna."
"Atau, buna sama ayah ikut aja sama kamu kesana ya?" pinta Lyara.
Aldebaran malah kembali menerbitkan sebuah senyuman penuh arti sekarang, "Disana hanya ada tempat Al sama bunda. Ayah sama buna belum waktunya buat kesana, nanti kalau sudah saatnya, Al janji akan jemput buna."
"Al ... buna––"
"Bun, adeknya Al bisa mengobati kangennya ayah. Al sudah pesan, biar dia jadi anak yang baik buat ayah sama buna. Jangan nyerah sama ayah ya, bun?"
Lyara terisak, ketika tangan Aldebaran perlahan mengelus perut buncitnya. Anaknya ini kemudian kembali tersenyum, "Dia akan baik-baik saja, dia juga akan menjadi lebih kuat daripada Al. Karena dia juga terlahir dari seorang wanita yang hebat."
"Al ...," lirih Lyara.
"Buna kembali ke ayah, ya? Jangan pernah mampir kesini lagi. Al ... pergi dulu."
"Al ... harus bahagia sama bundamu nanti, ya?"
Aldebaran mengangguk mantap, kemudian ia berjalan menjauh dari tempat Lyara duduk. Senyuman manisnya menjadi salam perpisahan paling indah namun menyakitkan untuk Lyara kala itu. Wanita itu sadar, bahwa pada kenyataannya ada Damar yang menginginkannya kembali.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ayah dan Al [END]
Random"Ayah harus selalu bahagia, tapi jangan jadikan aku alasan kebahagiaan ayah." Mereka selalu punya cara tersendiri untuk mencairkan kehidupan yang hampa, tanpa adanya kehadiran seorang istri, tanpa adanya kasih sayang seorang ibu. Berusaha sekeras mu...