Hari berganti malam, namun tetap saja tidak menghilangkan rasa resah di hati Aldebaran kala itu. Kehadiran kakek dan neneknya bukanlah suatu kabar baik baginya, karena sejak kematian ibunya, kakek-neneknya itu mulai menunjukkan ketidaksukaannya.
Fakta tentang Damar yang tidak pernah menuntut nilai, tapi berbeda dengan Ayu dan Handoko yang selalu ingin cucu pertamanya itu berprestasi dan mampu membanggakan kedua orang tuanya. Aldrebaran tidak pernah bebas dalam mengerjakan apapun, kalau sudah hidup berdampingan dengan kakek atau neneknya.
"Dimakan sayurnya. Lagian ayah kamu masak capek-capek yang kamu makan cuman ayamnya saja, harusnya kamu bisa menghargai ayah kamu lebih dari itu, Aldebaran." Suara tegas Handoko kini membuat kunyahan Aldebaran terhenti.
Damar mengelus pelan surai Aldebaran yang ada di sampingnya, "Udahlah, pak. Nggak usah dipaksa, nggak semua sayur Al suka."
"Tuh ... apa kata bapak, kamu itu kebanyakan manjain anak ini, mau jadi apa dia nanti, Mar?" Handoko kembali menggunakan nada suara tegasnya, "Dia selalu bergantung sama kamu, terus nanti mau jadi gelandangan? Luntang-lantung nggak jelas di jalanan?"
Aldebaran menunduk, meremat kedua tangannya yang ia sembunyikan di atas pahanya. Jujur saja, ia ingin kembali ke kamarnya sekarang juga, tapi kalau ia lakukan itu, maka ia akan semakin dicap sebagai anak manja selamanya.
Aldebaran mendongak, kemudian menyendok sayur di menu makan malam hari ini dengan begitu banyak. Membuat ayahnya sedikit terkejut dengan tingkahnya yang tiba-tiba melahap semua sayuran itu.
Itu sayur sop. Bukan buatan sang Ayah, namun buatan Mbok Wulan yang kini kembali disajikan di meja makan. Aldebaran tau itu, makanya sayur sopnya ia putuskan untuk tidak ia ambil, karena mungkin ada banyak potongan kecil udang yang tersembunyi disana. Sekarang, dirinya masa bodo.
Piring Aldebaran tidak sepenuhnya ludas, tersisa lauk yang pertama ia makan tadi. Namun, anak itu sudah langsung beranjak dari sana, "Al selesai."
Damar menatap punggung anaknya yang begitu tergesa untuk kembali ke kamar, ia sendiri tidak mengerti kenapa anaknya mendadak melahap semua sayurnya, bahkan lauknya yang malah ditinggalkan.
Damar menghela nafasnya, "Harusnya bapak nggak usah maksa begitu. Aldebaran tau apa yang harus ia makan, mana yang tidak. Ada kalanya dia akan makan sayur kok, pak. Lagian ini sayur sopnya bukan aku yang masak."
Ayu menangangguk, "Ibu kira kamu yang masak, pantas saja. Soalnya tidak biasanya kamu masak udang."
Mendengar itu, tentu saja Damar terkejut, karena ia tidak menemukan udang di sayur yang ia ambil tadi, "Udang, bu?!"
"Kamu itu kenapa? Sampe teriak-teriak begitu."
Menghiraukan sahutan dari sang Ibu, kini langkah Damar dipercepat menuju kamar anaknya. Biar saja, jika nanti ia dianggap tidak sopan, karena sekarang yang ada di pikirannya hanyalah Aldebaran Sanjaya.
Benar saja, sesampainya di kamar anaknya, Damar begitu kalut memandang Aldebaran yang susah payah menghirup oksigen dari inhealer miliknya. Sesekali anak itu juga menggaruk lehernya yang gatal. Damar mendekap Aldebaran, membiarkan anaknya merebah di pelukannya.
"Maafin ayah, Al."
"A—ayah nggak salah. Al yang harusnya nggak pernah sakit, nggak akan nyusahin ayah kayak gini. Al yang minta maaf sama ayah."
"Ayah sayang banget sama kamu, kamu nggak pernah nyusahin ayah. Kamu anak ayah, kamu tanggung jawab ayah."
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ayah dan Al [END]
Random"Ayah harus selalu bahagia, tapi jangan jadikan aku alasan kebahagiaan ayah." Mereka selalu punya cara tersendiri untuk mencairkan kehidupan yang hampa, tanpa adanya kehadiran seorang istri, tanpa adanya kasih sayang seorang ibu. Berusaha sekeras mu...