Aldebaran kini berdiri tegap di depan sekolahnya sendirian, masalah Leano dengan supirnya baru selesai lima menit lalu, dan Aldebaran yang memaksa Leano untuk segera pulang, karena hari ini anak itu juga harus menjemput keluarganya di bandara.
Aldebaran tidak melupakan perintah ayahnya untuk menghubunginya ketika sudah jamnya pulang, namun ayahnya yang malah tidak mengangkatnya sedari tadi. Bahkan mungkin sudah puluhan kali ia menghubungi sang Ayah, namun tetap saja hasilnya nihil.
Aldebaran akhirnya menyerah, membiarkan sang Ayah mengingat sendiri atas kepulangannya, atau mungkin jalanan sedang macet parah disana. Aldebaran tidak memaksa selagi kakinya masih tegak berdiri disana, meskipun nafasnya sudah mulai sesak sejak tadi.
Beberapa menit ia habiskan untuk menyelesaikan beberapa level permainan. Hingga tak terasa dua jam sudah ia memainkan permainan di ponselnya, cara itu ampuh untuk membunuh bosan, meredam kekesalan, dan tentu saja mengalihkan dari rasa sesak yang mencekat dadanya.
Semuanya masih bisa ia tahan dan alihkan, hingga telinganya menangkap sebuah suara klakson yang begitu memekakan pendengarannya itu. Di hadapannya, seorang pengendara motor memutar balik tanpa melihat situasi, hingga hampir saja tertabrak mobil yang sedang melaju kencang. Mobil itu sempat mengerem, hanya saja pengendara motor yang terkejut, makanya sampai terjatuh.
Aldebaran tak sengaja menjatuhkan ponselnya, kedua tangannya ia alih fungsikan menjadi penutup telinga. Kilasan tentang kejadian yang merenggut nyawa ibunya sendiri kembali begitu saja. Pikirannya penuh akan kejadian itu, dimulai dari ibunya yang akan menyeberang menghampirinya, hingga sebuah mobil berkecepatan tinggi menghantamnya.
Aldebaran menggelengkan kepalanya, berharap bisa menampik setiap ingatan tentang peritiwa menyakitkan itu. Namun, usahanya gagal, kedua lututnya jatuh bersimpuh, dadanya semakin sesak tak tertahankan.
"Al ... udah. Ada ayah, ada ayah sayang ...."
Selang beberapa menit, pelukan hangat itu datang pada Aldebaran, memberikan kekuatan untuk Aldebaran, mengusir setiap ingatan yang mengganggu remaja tujuh belas tahun itu. Butuh lima belas menit, hingga tangan Aldebaran bisa terlepas dari telinganya.
"A—ayah, sesak ...."
Damar menatap sang Anak panik, kemudian segera mengambil alih tas Aldebaran, mengacak-acak untuk menemukan sebuah benda yang dapat meredakan sesaknya, "Inhealer kamu dimana, Al?"
Aldebaran tidak perlu menjawab, karena sang Ayah sudah berhasil menemukannya. Dengan cekatan, pria itu langsung membantu Aldebaran untuk bernafas, perlahan-lahan menarik dan menghembuskan nafasnya, dibimbing oleh sang Ayah.
.
.
.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ayah dan Al [END]
Random"Ayah harus selalu bahagia, tapi jangan jadikan aku alasan kebahagiaan ayah." Mereka selalu punya cara tersendiri untuk mencairkan kehidupan yang hampa, tanpa adanya kehadiran seorang istri, tanpa adanya kasih sayang seorang ibu. Berusaha sekeras mu...