Kala itu, kelas masih ribut seperti biasanya. Kelas 11 IPS 3 itu rasanya kalau tidak terdengar keributannya kurang afdhol sekali. Kelas yang jauh dari sanjungan guru, kelas yang jauh dari prestasi muridnya. Semua siswanya juga maklum, karena kelas ini bukanlah kelas unggulan.
Aldebaran masih menenggelamkan kepalanya di meja, dengan lipatan tangan yang di bawahnya terdapat tumpukan buku untuk topangannya. Sementara, teman sebangkunya, Leano masih sibuk dengan branded online shop yang tengah ia kunjungi situsnya.
Beberapa hari lalu, Leano bilang harus ke Shanghai untuk menjenguk neneknya yang katanya akan pindah ke Jakarta. Leano menambahkan, disana sedang musim dingin, jadi ia ingin mencari baju hangat atau semacamnya untuk keberangkatan dirinya nanti.
Tidak berapa lama, keributan mulai padam setelah salah seorang siswa berteriak keras bahwa akan ada guru yang masuk ke kelas mereka. Itu berpengaruh juga pada Aldebaran, anak itu langsung mengangkat kepalanya tegak, berusaha siap belajar.
Ketukan sepatu itu makin dekat saja, hingga seorang wanita berhijab dengan pakaian khas gurunya masuk dengan wajah tegas. Alih-alih mengucap salam, wanita ini malah langsung berwaja masam kala melihat tumpukan sapu terlihat berantakan di pojok depan kelas ini.
"Ribut banget, kotor lagi. Suara kalian itu kedengeran sampai perpustakaan," keluh Bu Airin, saking berisiknya, perpustakaan yang letaknya masih tiga kelas lagi saja sudah kedengaran.
Si Ketua Kelas memilih mengalihkan omelan Bu Airin dan sesegera mungkin memimpin pengucapan salam dan doa sebelum pembelajaran dimulai. Bu Airin langsung saja duduk di kursi ternyaman di kelas, menyiapkan laptop yang berisi materinya pagi ini.
"Pagi ini, ibu mau kasih tau sesuatu dulu."
Aldebaran menghela nafasnya lelah, pasti hal tidak penting lagi atau wejangan tentang kebersihan. Tapi kata Leano itu malah enak, karena mereka nggak jadi belajar kalau Bu Airin udah bercerita panjang lebar, dan berarti tidak ada pekerjaan rumah yang harus dilakukan.
"Dua bulan lagi akan ada olimpiade ekonomi buat kalian yang berminat silahkan angkat tangan, ibu akan mendata." Bu Airin sudah siap dengan buku catatan dan pulpennya.
Namanya juga kelas paling bobrok di sekolah, mana juga tertarik soal olimpiade. Selain takut kalah, terus malu-maluin, juga mereka malas mendapat kelas tambahan untuk olimpiadenya.
"Ya ... ibu tau kalian pasti nggak ada yang pengen ikut, sebenernya ibu juga nggak serius buat tawarin kalian. Tapi, mungkin aja gitu ada dari kalian yang udah dapat hi—"
Seluruh kelas mendadak benar-benar sepi, setelah tadinya masih ada suara bisikan obrolan ketika Aldebaran mengangkat tangannya tinggi. Entah apa yang ada di pikiran anak itu, sampai tiba-tiba mendapat hidayah.
"Karena ibu takut kegeeran, kenapa Aldebaran?" tanya Bu Airin, sudah banyak peserta didik yang mengerjainya.
"Sa-saya mau ikut olimpiadenya, bu," ucap Aldebaran dengan ragu.
Leano yang tengah meminum air di botol seharga satu juta rupiah itu langsung tersedak seketika, matanya yang sipit melotot menatap Aldebaran yang masih mengangkat tangannya. Leano menggeleng tak percaya, takut saja Aldebaran rupanya lagi iseng dengan Bu Airin.
"Kamu nggak lagi bercandain ibu kan, Al?"
Aldebaran menggeleng yakin, "Nggak bu, saya beneran mau ikut."
"Halah ... paling juga mau cari muka tuh ...." Suara Aryan menggema di seluruh kelas membuat siswa lainnya tertawa terbahak-bahak.
Bu Airin membanting penghapus papan tulis ke mejanya aar kelas bisa kembali tenang, "Sudah. Tidak bisa kalian hormati saya disini?! Aldebaran, nanti namamu akan ibu tulis, tapi minggu depan akan ada seleksi sekolah dulu, untuk menentukan siapa yang akan maju untuk olimpiade, karena yang dipilih hanya satu orang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ayah dan Al [END]
Random"Ayah harus selalu bahagia, tapi jangan jadikan aku alasan kebahagiaan ayah." Mereka selalu punya cara tersendiri untuk mencairkan kehidupan yang hampa, tanpa adanya kehadiran seorang istri, tanpa adanya kasih sayang seorang ibu. Berusaha sekeras mu...