33. Nekat

928 107 25
                                    

Aku menunggu kedatangan seseorang itu di taman yang berbentuk ala teater greek. Taman yang sungguh adem, dikelilingi banyak pohon besar, dan di bawahnya ada sebuah lapangan dengan ayunan, pohon-pohon kecil, dan pohon bunga bougenville. Padahal baru duduk sebentar, aku sesering itu kembali melihat ke jam tangan.

Sekitar lima menit kemudian ada sosok cowok datang dengan langkah cepatnya.

“Hei, maaf ya lama,” kata Yudha lalu duduk di sebelahku.

“Iya, lama banget keburu lumutan,” jawabku membuatnya tertawa kecil.

“Jadi mana yang mau ditanyain?”

Aku mengeluarkan sebuah buku beberapa buah tentang Hukum Pekerja, Hukum Perburuhan, dan Hukum Pegawai dari dalam tas. “Aku masih bingung untuk contoh nyata yang pernah terjadi di Indonesia. Aku udah nyari di internet untuk kasus misalnya peraturan cuti untuk wanita haid, dan ada kasus yang lagi rame tentang buruh di suatu pabrik yang kerjanya rodi tapi gajinya yang gak keluar. Mereka harus demo dulu baru didengar gajinya masuk di bulan depannya. Itu berlangsung setiap tahun bisa sampe dua kali. Padahal katanya bayarlah pekerja sebelum keringatnya mengering.”

Yudha sedang melihat-lihat buku itu, dia sepertinya cukup cepat dalam membaca buku. Dia membalikkan kertas dengan cepat, sepasang manik matanya yang tajam itu bergerak lebih cepat. Sepertinya Yudha sedang membaca yang pentingnya saja.

“Keluarin pasal-pasal yang bisa mendukung bahwa pekerja itu dilindungi. Kamu pasti bisa menemukan pasal-pasal.”

“Oke, aku udah punya beberapa pasal untuk pendukung masalah itu. Tapi nanti, pasti ada pertanyaan apakah pasal itu nggak ditakuti oleh perusahaan sampai beraninya melanggar dan membuat para karyawan protes.”

“Hukum tentang pekerja, buruh, dan pegawai di Indonesia memang masih lemah. Itu kenapa Hari Buruh ada, Ndah. Sampai sekarang masih ada banyak demo, dan protes kebijakan.”

Aku mengangguk-ngangguk. “Oke, nanti aku kaji lagi untuk pasal yang membahas tentang penguatan perlindungan pada para pekerja. Tapi, aku udah nanya ke beberapa orang di Twitter, random sih ke orang-orang yang pekerja di pabrik. Aku iseng buat quesioner, tentang mengapa mereka mau kerja di pabrik padahal capek banget, dan bisa ada yang bagian berdiri sampai 8 jam, di ruangan tanpa minuman, dan gak bisa megang hape. Sehari memproduksi barang sampe ratusan. Alasannya bertahan, mereka memiliki gaji besar. Aku gak dapet yang gajinya kecil, atau yang kayak sering pending gaji. Apa karena aku belum meluas nyari pekerjanya?”

“Belum, mungkin kamu bisa nyari pendapat langsung yang udah jelas mereka kerja di mananya. Yang aku tau kenapa para pekerja itu terpaksa, mereka gak punya gelar sarjana, mereka berusaha untuk tetap melanjutkan hidup. Dan, mereka bekerja untuk hari itu aja, Ndah. Di luar jam kerja, mereka nggak diteror sama atasan tentang pekerjaan. Mereka hanya bekerja selama di ruangan pekerjaannya aja. Mereka hanya bekerja untuk hari itu intinya,” jelas Yudha.

Aku mengangguk. “Tapi kerjanya kan udah capek, lebih ke fisik ya capeknya?”

“Yups, makanya kasihan ya kalau gajinya sampai dipending padahal kerjanya melelahkan.”

“Thanks, nanti aku masukin ke catatanku. Mungkin nanti bisa jadi pengetahuanku waktu presentasi mereka nanya yang aneh-aneh.”

“Good luck! Tapi, aku bilangin aja ya, Pak Abraham cukup pelit nilai. Presentasiku bagus, absen masuk terus, tugas, kuis, UTS, dan UAS lumayan bisa dikerjain. Dia bikin soalnya gak susah, jawabannya udah pasti bener, dan ada soal yang pendapat juga sih. Tapi nilainya C. Presentasi individuku C.”

“Hah, masa sih sembarangan banget? Tapi, aku percaya sih soalnya pas kuis harian waktu itu nilaiku C, tapi Sasa, Viska, dan Tika dapet B. Padahal inti jawabannya sama. Temenku yang paling pinter juga dapet C. Pas dia protes katanya ditingkatkan lagi aja di presentasi Individu.”

PekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang