22. Ceritanya

937 105 20
                                    

Aku baru saja masuk ke dalam rumah melihat Rifando sedang bermain bersama Achel yang centil sedang memukul-mukuli wajah pemuda di depannya.

“Sejak kapan rumahmu pindah?”

Tadi saat dalam perjalanan pulang, di bus umum aku membalas pesan dari Rifando agar datang menemuiku langsung ke rumah saja. Di sore ini dia sudah tiba lebih cepat daripada aku yang kena macet di jalanan. Motornya terparkir di garasi, benar dugaanku dia naik motor kalau bisa sampai secepat itu. Padahal tadi sewaktu dia ngirim pesan nanyain keberadaanku, dia masih berada di gedung fakultasnya. 

“Kamu tadi di mana pas bales pesanku? Kalo tau kamu masih di jalan bisa janjian ketemu di halte, biar barengan sama aku ke sini. Kamu capek kan jalan dari depan? Aku lagi bawa motor jadi bisa cepet sampenya.” Rifando menyadari keganjilan kini dia menatapku penuh selidik.

“Aku udah di jalanan pas bales pesanmu,” kataku singkat menghindari obrolan panjang.

Lalu nyaris terjungkal gara-gara Encis menghalangi di depan kaki. Kucing itu mencegatku seperti minta jatah makan sore. Encis menatapku tak merasa bersalah, padahal aku sudah melotot kesal.

"Meow!" Encis membuka mulutnya jika diterjemahkan seperti; Makan!

“Itu balasanmu setengah jam setelah aku ngirim pesan. Kamu masih di kampus kan waktu aku kirim pesan itu? Kenapa nggak bilang biar bareng dari kampus aja?” Tuhkan dia bawel banget.

Aku terlalu malas menjawab pertanyaannya. Aku hanya mendecak mengabaikan pertanyaan keponya.
Aku berjalan menuju halaman samping menuju lemari tempat penyimpanan makanan Encis dan Achel. Usai memberikan makanan kucing, belum tahu apa yang ingin aku bicarakan, aku saja sedang malas menjawab pertanyaannya. Aku sibuk sendiri bolak balik ke kamarku, dan teriak memanggil Bunda yang lagi di kamarnya.

Pemuda itu yang lagi aku abaikan sibuk sendirian di ruang TV sambil melamun aneh.

Aku mencuci wajah di westafel kamar mandi, ingin maskeran sore ini karena wajahku mulai tidak enak, dan kotor.

“Ndah, kenapa si Fando didiemin aja?” Bunda muncul sudah wangi dan rapi, habis mandi pulang kantor.

Aku yang lagi membuat racikan masker wajah bengkoang bubuk dalam kamar menoleh ke pintu. “Terus aku harus gimana? Aku mau maskeran.”

“Ya maskeran di bawah aja sambil temenin dia. Kelvin enggak bisa nemenin karena lagi sakit di kamar.”

“Abang udah pulang?” Aku yakin motornya dia sudah dimasukkan ke dalam garasi karena tak menyadari dirinya sudah pulang. Tadi bukannya masih ada di taman kampus bersama Nindya?

“Sakit apaan? Udah pulang beneran? Kok rasanya kayak nggak ada tanda kehidupan dia ya? Perasaan tadi masih di taman kampus ketawa-ketiwi sama cewek?”

“Lagi demam sama sakit perutnya tuh. Nanti malam mau dibawa sama Ayah ke klinik buat ngecek sakitnya. Kayaknya Maag deh,” kata Bunda.

“Fando tau nggak dia sakit? Siapa yang duluan sampe ke rumah?”

“Kelvin bilang jangan kasih tau siapa-siapa, dia ngomel nanti kalo dilawan,” kata Bunda. “Tadi Fando duluan yang dateng nungguin kamu duduk-duduk. Terus pas Kelvin nyampe dateng lewatin dia, mereka cuma melengos gitu aja. Mereka lagi ribut?”

“Iya tapi biarin aja. Kalo mereka masih mampu ngeliat muka satu sama lain masih ribut kecil.”

Oke, mereka masih saling mengabaikan.

Aku balik ke bawah untuk menemani Rifando. Aku lihat dia masih duduk namun pindah ke kursi teras halaman samping, sambil sandaran memeluk bantal sofa tampak sangat sedih. Aku membawa adonan masker wajahku ke sebelahnya. Dia sedang menatap kosong ke langit sore hari.

PekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang