23. Masih

916 105 19
                                    

“Andah, kamu lagi di mana? Aku mau nanya.”

Baru saja kelas terakhir di Kamis sore berakhir. Setelah beberapa kali ada panggilan suara dari Rifando, aku baru bisa mengangkatnya setelah keluar dari kelas. Aku mendadak sangat cemas ketika mendengar nada suaranya yang lemas, tidak biasanya.

“Nanya apa? Kenapa napas kamu kayaknya berat banget?” tanyaku cemas.

“Aduh, badanku meriang ini wey drop di kampus. Obat biar nggak demam apa ya, Ndah?” tanyanya lesu.

“Kamu di mana sekarang? Belum nemu obat?” Aku langsung diserang panik.

“Aku di ruang sekre Hima, aku mau nanya dulu obatnya apa. Aku lupa.”

“Ketauan kan kalo sakit nggak pernah minum obat?"

"Jangankan minum obat, aku suka nggak dirasain kalo sakit. Buruan deh jawab, obatnya apa biar nggak meriang. Biar demam dan panasku turun."

"Aku kalo meriang minum Bodrex. Di sana ada obat kan? Kalo nggak ada, aku ke sana ya, aku bawain obat.”

“Iya, ketemu di kantin Fikom ya, kamu beneran ke sini. Di kantin sini nggak ada yang jual obat-obatan. Nanti pulang sama aku, buat temen ngobrol nyetir nanti. Nanti aku kenapa-napa di jalan.”

“Sok imut banget! Sejak kapan kamu manja?”

“Ya biarin, udah lama nggak manja. Nggak ada yang manjain,” jawabnya ketawa.

“Idih, kardus besek. Enggak usah curcol!”

“Cepetan ke sini ya?”

Itu cowok pasti sudah merasakan sakit namun diabaikan. Kalau sudah sakit parah mungkin dia baru bisa melepas kegiatan sibuknya. Secepatnya aku pergi ke warung depan kampus untuk mencari obat pereda panas dan penurun demam.

Setelah mendapatkan obatnya aku menemui Rifando yang sudah duduk sendirian di salah satu meja kantin Fikom. Cowok itu sibuk menunduk bermain ponsel tidak menggubris ketibaan diriku. Berniat usil aku menempelkan botol minuman dingin milikku ke pipi wajahnya. Aku menahan ketawa namun tidak bisa langsung ngakak hebat.

“Astaga! Bangsat apaan ini! Arghh, gila langsung ngilu!” seru Rifando terkejut sekali sambil menoleh dengan raut wajah lucu, sebentar saja lucunya dia sudah menatapku tajam. “Andah, kamu usil banget. Sumpah, langsung menggigil."

Aku tertawa keras duduk di sebelahnya. “Katanya sakit tapi mata masih kuat ngeliat layar hape.” Aku memberikan plastik yang berisi air mineral dan obat pereda sakit untuknya.

“Jahat banget sumpah. Badanku panas banget nih, pegang jidatku kalo nggak percaya,” ucap Rifando sambil menarik tanganku untuk menempel ke keningnya.

Aku tertegun berkat tingkahnya yang melakukan gerakan itu dengan amat santai. Panasnya kening Rifando sepertinya menyambar sampai ke sekujur tubuhku.

“Hm, minum obatnya dulu buruan.” Aku kehilangan kata-kata selain bicara seperti barusan.  

Dia menuruti ucapanku dengan meminum obat yang aku beli dibantu air mineral yang tak dingin. Sampai dia selesai minum obat, aku belum bicara apa-apa lagi hanya diam menekuri meja di depanku dengan pikiran kosong. Tidak tahu mengapa aku menjadi sekaku ini.

“Kamu udah makan? Mau makan apa? Apa mau langsung pulang aja?” tanya Rifando perhatian.

💖💖💖

Aku mengira sakitnya Rifando hanya sebentar. Malam harinya dia masih demam dan meneleponku untuk ngoceh tidak jelas. Aku yang mendengarkan memaklumi keanehan Rifando. Katanya sakit tapi menelepon hanya untuk sekadar cerita horor. Mana suasana di Malam Jum’at sangat pas.

PekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang