30. Di belakangku

855 101 5
                                    

Di bangunan itu aku, Sasa, dan Ardan sedang duduk santai sembari bercerita meluapkan beban pikiran. Bangunan yang sekiranya pasti ada di dekat area parkiran kampus. Sebuah bangunan yang dibangun memiliki tinggi sepinggang orang dewasa berukuran 7x7 meter. Bisa duduk-duduk di atasnya, atau bahkan hanya duduk di pinggiran juga boleh. Bangunan multifungsi itu bisa digunakan untuk duduk, tiduran, tempat meneduh menunggu kala hujan atau anak-anak yang biasanya jualan danusan.

“Kayaknya skripsimu lancar. Kalem bae, nggak pernah menggerutu,” ucapku pada Ardan yang lagi makan telor gulung Mamang depan kampus. Aku sendiri lagi makan sosis bakar, berbagi bungkusan bersama dengan Sasa karena belinya digabung.

“Sial. Siapa bilang?” balas cowok itu kesal. “Aku mbatin aja. Jalanin yang ada, nggak kuat tinggal ngopi. Aku udah masuk Bab 3, mandek lama di Bab 2 nyari bahan untuk teori harus banyak.” Namanya Ardan, alias sobat lengket Sasa, yang sudah kuliah semester 9 jurusan Jurnalistik.

“Setidaknya kamu udah dapet judul yang kamu nyaman.” Sasa menimpali.

“Aku pake orang dalem. Tau kan kalo Om-ku kerja di TV swasta. Kalo nggak ada jaminan ya aku tewas.” Ardan memasukkan lidi telor gulung ke dalam plastiknya sambil kepedesan. “Skripsi kita tuh isinya nggak bakal beda jauh, kalo kalian mau nanya Metlit boleh. Tapi jangan berat-berat, aku udah pusing.”

“Beda jauhlah ya!” seru Sasa protes.

“Iya, tar aku bantai nanya-nanya ke kamu di bab 3 sampe 5. Hahaha,” tandasku cekikikan. Aku sibuk main ponsel lagi ada pesan dari Rafel yang menanyakan tentang soal Bahasa Indonesia lewat pesan chat.

“Sial. Aku berguru ke orang lain, kamu gantian ke aku. Eh, Andah, gimana kamu?” tanya Ardan padaku.

Aku mengangkat pandangan dari ponsel hanya melongo tak paham. “Apaan?”

“Udah skripsi belom si?”

“Magang aja belom,” jawabku.

“Dia seangkatan sama aku, gimana masa lupa!” seru Sasa.

“Lagi Metlit dong? Metode penelitian aja dulu bikin aku gila. Itu masih belum tentu dipake kan judulnya buat skripsi loh,” dengus Ardan. “Aku aja judulnya berubah. Gila dunia ini. Kalian siap-siap aja ya?”

“Namanya juga masih abu-abu, itu cuma matkul teori. Belum prakteknya aja,” sahutku.

“Nasibmu tergantung sama dosen pembimbing ya adik manis,” jawab Ardan menepuk puncak kepala Sasa.

“Nasibmu aja yang jelek!” balas Sasa.  

“Judulku diminta diganti, padahal berharap bisa nerusin judul yang waktu di Metode Penelitian. Indahnya dunia kuliah ini! Mana perusahaan terkenal belum ada yang terima penelitianku kalo nggak dibantuin. Aku akan gila setelah ini! HAHAHA!” Ardan ketawa menyeramkan.

“Dasar, cuekin aja Ndah, dia mulai gila!” seru Sasa.

“Semenyeramkan itu ya Skripsi?” Tiba-tiba aku teringat oleh Rifando yang sekarang sedang berkutat dengan mata kuliah itu. Bagaimana dengannya?

“Yang penting Statistika udah lulus.  Itu kan penting buat matkul Metode penelitian yang juga penting untuk mata kuliah Seminar Proposal, lalu penting buat matkul Skripsi.” Ardan menasehati kami.

“Udah tau Bang, tabah ya sebentar lagi lulus kok,” cetusku.

“Magang dulu kalian yang bener!” seru Ardan.  

“Statistika bagiku sesusah itu. Percaya nggak, aku selama matkul Statistika enek mulu, kayak mau muntah. Pusing apa ya?” Sasa mendesah berat.

“Jangan-jangan kamu—“ Ardan belum bicara jelas keburu digeplak lengannya oleh Sasa.

PekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang