6. Menemani nonton konser

1.6K 144 30
                                    

“Semuanya berawal dari sebuah kata yang terus mampu menghipnotis, yang disebut sebagai kesempatan. Kesempatan adalah kata yang bisa menyemangati dalam sebuah harapan. Aku merasa inilah kesempatan.”

💖💖💖

Saat ini aku sedang dalam arah perjalanan tujuan yang belum aku ketahui bersama Rifando. Kami ngobrol-ngobrol berbagi cerita selama tidak bertemu beberapa minggu.

“Tapi kamu kerja di kafe itu juga makannya bisa enak-enak, kan?” tanya Rifando membuatku nyaris tersedak ludah sendiri. “Bedanya, kamu gerak, jadi makanannya nggak nimbun cuma jadi lemak.”

Di Kafe Tiramissyou, yang diurus oleh Bang Jay dan Bang Jonny, sohibnya si Kelvin dan Rifando juga, hanya aku yang sering mendapat hak istimewa sering dikasih makanan. Namun sebulan magang kemarin di kafe itu sebagai pelayan dan tukang cuci piring, aku digaji yang tidak sama seperti pegawai yang lain. Aku hanya digaji kecil karena hanya manusia perbantuan, dan tugasku tak boleh seberat yang lain.

Sebelum menjadi anak part time, aku cukup senang main di kafe itu karena waktu akan berjalan sangat cepat, dan mendapat makanan enak. Satu porsi mie goreng dengan telur, dan potongan ayam rica-rica, harganya sudah setara dua bungkus nasi padang dengan lauk rendang daging.

Kalau di hari-hari kuliah, aku suka menjadi perbantuan dengan imbalan makanan dan minuman. Ada hari di mana kafe bisa sangat ramai sampai para pegawai kewalahan, dan si bos utama alias Bang Jay masih saja berpikir ulang untuk menambah orang. Pria itu merasa dengan tim kerjanya saat ini sudah cukup mampu menangani saat-saat kafe ramai.

“Sebulan itu aku nggak dikasih makanan kayak biasanya, aku makan bekal atau nasi warteg loh. Gajiku jauh dari para pegawai yang lain. Soalnya aku emang pengennya dibayar pake duit. Aku part time jadi jelas digaji, kalo biasanya kan cuma bantuin 1 jam doang. Bang Jay sering ngingetin sih; jangan rajin-rajin sampe ngalahin pegawai aslinya. Ya udah, di tengah kerja kalo makanan belum jadi, aku sesempetnya main game Brain Out.”

Aku menceritakan pengalaman sebulanan itu, di mana aku sedang kesepian karena Kelvin dan Rifando sibuk sama organisasi kampusnya yang bakalan mengadakan OSPEK sebentar lagi.

Jadi teringat lagi kejadian saat aku dan Rifando ribut kecil karena kami tertangkap basah oleh pacarnya yang sedang jalan sama para gengnya. Kami hanya nonton film, gara-gara Kelvin yang batalin mendadak, sayang kalau tiketnya tidak digunakan.

“Terus kenapa cabut kalo kerjanya enak? Aku kira kamu dikerjain mulu sama Bang Jay dan Jonny makanya nggak lanjut sampe waktunya masuk kuliah nanti?” Rifando memandangiku heran.

“Kalo belum rebahan, ngabisin waktu guling-guling gak jelas aku belum ngerasain liburan, Doy,” jawabku sambil terkekeh.

“Bener sih, apa aku kurang goleran makanya sering bete sekarang?” Cowok itu lagi menerawang sambil mengernyitkan dahinya lucu.

“Nggak ah, kamu mah bete gara-gara ngenes!” Aku langsung tertawa besar, rasanya senang sekali menggodanya yang lagi jomblo.

Mobil yang kini kami sedang berada masuk ke sebuah pom bensin, Rifando berhenti masuk ke dalam sebuah antrean. Aku masih belum tahu pria ini akan membawaku ke mana, karena dia hanya bilang sore ini harus bisa diajak pergi. Dia sudah bilang kemarin saat datang ke rumahku.

Karena mobil sedang berhenti Rifando melemparku dengan bantal kecil gara-gara ucapan ledekanku tadi. “Ngacaaaaaaa!”

“Ih!” Aku melempar balik dirinya dengan bantal.

“Ndaaaaah,” tiba-tiba dia memanggilku dengan nada sok imut, manja.

Saat aku melihatnya dia sedang memandangiku dengan senyuman aneh. “Apaan?”

PekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang