"Andai, kamu tahu bahwa di sini ada rasa yang tak pernah sampai kepadamu. Jika suatu hari, kamu bisa menerima aku yang sudah melewati batas perasaan ini. Aku pasti akan sangat senang. Tapi, itu rasanya mustahil ya?"
💖💖💖
Jam siang ini sudah menunjukkan pukul 11, namun sepanjang mata menatap ke sekeliling sudah banyak manusia memenuhi jalanan dalam Dunia Fantasi. Aku mengelap keringat yang sudah keluar di dahi akibat teriknya matahari.
Kami berempat—aku, Rifando, Kelvin, dan Rafel sedang berdiri di depan wahana Turangga-rangga atau yang kerap dikenal familiarnya sebagai komidi putar. Bisa ditebak kami sedang ngapain berunding sambil membentuk lingkaran menatap wajah satu sama lain.
Aku tahu kami punya rencana masing-masing dalam pikirian ingin naik wahana apa terlebih dahulu. Seperti aku yang sudah melirik-lirik pada wahana komidi putar. Pasti mereka pada ogah untuk menemaniku naik kuda-kuda unyu itu.
“Mau naik apa dulu?” tanya Rifando memecahkan keheningan kami.
“Aku mau yang santai dulu,” jawabku sambil nunjuk wahana komidi putar itu.
“Yah, Ndah, itu di pasar malam juga ada. Pemanasan awalan justru jangan yang kayak gitu,” tukas Kelvin.
“Kalo pemanasan aku milihnya Halilintar,” ucapku.
“Pokoknya aku nggak mau naik Tornado dan Kicir-kicir.” Aku sudah bergidik ngeri membayangkan tubuhku bakal dibalik-balik seperti itu.
“Oke kalo gitu kita naik Hysteria dulu. Gimana sih kan katanya mau taruhan kuat-kuatan, level Tornado sama kicir-kicir itu yang setara.” Kelvin mencibir menyebalkan.
“Aku mau sama Abang soalnya Kak Andah cemen. Yuk Bang, kita naik kicir-kicir, kalo gitu kalian yang naik tornado!” seru Rafel tersenyum licik menyebalkan.
Aku dan Rifando segera mendelik mata tajam, kami harus menjalankan misi daripada dibully habis-habisan seumur hidup.
Kelvin menjawab membuat Rafel menganga terkejut. “Kalo aku mau nyoba Tornado.”
“Bang, itu serem banget sering—“
Cowok bermata tajam itu segera memotong ucapan Rafel. “Hush—“
Rafel segera membungkam mulutnya polos dan mengerjapkan matanya.
“Ya udah yuk, kita naik halilintar dulu aja buat latihan,” ucap Rifando yang pasrah saja terlibat dalam permainan bersaudara ini.
“Jadi, kalian berdua kuat beraninya naik yang mana?” tanya Kelvin bernada sombong.
“Bang, jangan sombong! Aku kan tim barengan kamu,” decak Rafel sedikit memucat. "Abang enggak mikirin perasaan aku nih?"
Mereka berdua sedang saling menatap penuh makna, Rafel yang menunjukkan raut wajah cemas sekaligus Kelvin yang tiba-tiba memasang wajah blank. Aku dan Rifando kompak tertawa dengan kemurkaan Rafel pada abangnya itu. Walau aku penakut, tentu saja melihat Rafel sok berani adalah hiburan tersendiri.
“Udah, kamu tuh berani. Buat pengalaman naik yang serem sekalian,” sahut Kelvin sambil mendecak dan merangkul bahu Rafel.
“Ini nggak ada kompensasi buat aku? Aku mau naik Hysteria aja deh. Aku enggak mau wahana yang muter jungkir-balik.” Aku masih sesempatnya protes.
Omonganku tak digubris sama sekali oleh Kelvin dengan tuh cowok jalan duluan sambil merangkul Rafel.
"Bang Kelvin! Yee parah nggak ada yang dengerin aku?" teriakku kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Peka
RomanceJangan sampai jika semua usaha tanpa disertai dengan kata-kata, pada akhirnya kata yang bisa diucapkan hanyalah, "Selamat ya!" Copyright©2020