The Letter #4

310 34 46
                                    

"Hai, cowok sibuk," sapa Aruna pada Rendy begitu ia keluar dari mobilnya.

Rendy yang sudah lebih dulu memarkirkan motornya di halaman rumah Shilla, tersenyum segaris. "Nggak usah mulai, Nana."

Perempuan yang dipanggil Nana itu langsung mengerucutkan bibirnya dan menatap Rendy sebal.

Rendy tidak menghiraukan perubahan ekspresi yang terjadi di wajah Aruna. Paling-paling sebentar lagi mood-nya sudah berubah menjadi ceria lagi. Hal yang sangat lumrah Rendy hadapi selama satu tahun memiliki hubungan tanpa status dengan gadis itu.

Pagi ini, Rendy dan Aruna lagi-lagi terpaksa harus membawa kendaraan masing-masing, karena orang tua mereka sedang berada di rumah. Aruna tidak mungkin menjemput Rendy, sama saja cari mati namanya. Sedangkan Rendy, ia selalu menghindari menjemput Aruna saat orang tuanya di rumah, karena khawatir akan diadakan sesi interview mendadak. Takutnya, orang tuanya yang semula tidak tahu siapa Rendy, jadi tahu kalau cowok yang selama ini sering mengantar jemput putrinya adalah anak dari wanita yang diselingkuhi ayah Aruna. Bisa-bisa kamuflase mereka terbongkar.

Setelah dipersilakan masuk oleh Shilla, selaku tuan rumah, mereka berdua langsung bergabung dengan teman-temannya yang sudah berkumpul di ruang tengah.

Melihat dua sejoli itu datang bersamaan, Ara terdorong untuk meledek sahabatnya. "Akhirnya, ya, Na. Ketemu juga lo sama Rendy."

Shilla menambahkan, "Iya, nih, Kak Aruna seminggu ini misuh-misuh terus gara-gara Kak Rendy."

"Emang si Rendy ngapain, Na?" tanya Jevan penasaran.

Yang menjadi objek pembicaraan itu akhirnya menjawab dengan wajah dongkol. "Gue dicampakkan hampir dua minggu sama dia gara-gara UAS."

Rendy langsung berdecak mendengarnya. "Nggak usah kayak gue nggak ngabarin lo setiap hari, ya," ujar cowok itu sambil mencubit pipi Aruna gemas.

"Iya, iya. Maaf, deh, yang sibuk." Perempuan itu pun membalas mencubit lengan atas Rendy.

"Duh, mainnya cubit-cubitan, ya?" ledek Rayhan dari seberang sana.

"Ya, biarin. Emangnya lo, mainnya cium-ciuman?" balas Rendy tak mau kalah, tanpa ada yang tahu kalau ada seseorang yang langsung menunduk menyembunyikan rona di pipinya tatkala mendengar kalimat yang sebenarnya hanya gurauan itu.

Rayhan sontak mengumpat pelan, lalu menimpuk Rendy dengan sebungkus makanan ringan di depannya, yang sayangnya bisa ditangkap oleh cowok itu.

Arka sempat pura-pura berpikir, sebelum ia berkata, "Emang bener dugaan gue dulu. Kalian berdua, tuh, cocok kalo pacaran."

"Kita nggak pacaran, ya. Kita ini partner in crime," tegas Aruna pada laki-laki yang masih memasang wajah sok tahu itu.

"Halah, itu, mah, akal-akalan kalian aja, 'kan? Aslinya juga sama aja kayak pacaran. Cuma biar nggak ketauan, nyebutnya bukan pacaran."

"Ya, emang itu tujuannya. Masa dari dulu baru paham sekarang?" Kali ini giliran Rendy yang membalas penuturan sobatnya itu.

Arka berdecak malas. "Tuh, kan, emang cocok lo berdua. Sama-sama nyebelin mulutnya."

Mendengar komentar Arka itu, Aruna langsung tersulut emosi. "Yang mulutnya lebih nyebelin, diem aja, please!" serunya.

"Udah, mendingan dibuka aja sekarang suratnya. Daripada makin nggak jelas," usul Jevan menengahi.

"Eh, bentar dulu, dong. Mau ngabisin ini," pinta Aruna, menunjukkan kalau ia tengah memakan makanan ringan yang tadi dilemparkan Rayhan untuk menimpuk Rendy. "Kalian ngobrol-ngobrol dulu aja," sambungnya.

Love LetterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang