Deru mesin kendaraan beroda dua terdengar kencang, mengganggu indra pendengaran siapa pun yang melewati jalanan. Jalan raya utama yang biasanya padat merayap, saat ini hanya dilalui beberapa kendaraan—yang bahkan dapat dihitung dengan lima jari—karena waktu sudah menunjukkan pukul 03.00 dini hari. Si pengendara terpacu untuk menarik gas lebih dalam karena melihat jalan yang dilaluinya terasa seperti sirkuit balap. Tentu saja, bagi seorang Danny Arkana Ravindra yang hobi berkawan dengan kecepatan, jalanan sepi seperti ini bagaikan taman bermain untuknya.
Si pemuda mengurangi kecepatannya ketika memasuki kompleks pemukiman tempat ia tinggal. Ia takut suara bising motornya akan mengganggu warga. Iya, hal itu baru melintas di otaknya sekarang. Mana ingat kalau laki-laki itu sudah mengusik puluhan bahkan ratusan orang yang tadi dilaluinya?
Arka mematikan mesin motornya di depan gerbang rumah seseorang yang ia yakini masih terlelap dalam tidurnya. Mengapa ia tidak berhenti di depan rumah sendiri saja? Entahlah, cowok itu pun tidak tahu. Ia hanya mengikuti insting untuk menghampiri rumah di hadapannya, meskipun kecil kemungkinannya untuk dipersilakan masuk ke dalam sana.
Meletakkan helm di atas tangki motornya, Arka menatap pantulan dirinya di kaca spion. Meskipun bajunya tidak terlihat lusuh dan parfum yang ia semprot kemarin pagi masih samar-samar tercium, wajah kuyu dan rambut berantakannya tidak bisa berbohong kalau ia sedang kacau. Mungkin ia akan disangka orang gila jika ada petugas ronda malam yang memergokinya duduk di atas motor dengan pandangan kosong seperti saat ini. Lebih parahnya lagi, ia bisa saja dikira penjahat.
Syukurlah, dua kemungkinan itu belum terwujud saat Arka mendengar suara kunci yang dibuka dari rumah di depannya. Seorang gadis dengan piama merah muda dan rambut yang diikat asal kemudian muncul dari balik pintu rumahnya, berjalan menghampiri Arka dengan wajah super datar.
"Sebentar banget kaburnya. Gue kira bakal sampe tiga hari atau malah seminggu."
Arka terpaku mendengar kalimat sarkastis yang dilontarkan gadis itu.
"Tidur di emperan toko, lo? Apa di kolong jembatan?"
Meski dengan nada emosi yang tertahan, Arka tahu jika itu adalah cara si gadis mengungkapkan kekhawatirannya. Arka tahu Shilla. Laki-laki itu memahami gadisnya.
Ia turun dari motornya lalu berdiri di hadapan Shilla agar bisa menatap wajah gadis itu dengan lebih dekat meskipun ada gerbang rumah yang menjadi pembatas di antara keduanya.
"Kabur, kok, cuma sehari. Nanggung banget. Study tour aja tiga hari," cerca Shilla kembali.
Arka menghela napas panjang. "Nggak mau bukain gerbangnya dulu?"
Gadis itu berdecak kesal. Ia berbalik mengambil kunci gerbang sambil mengentakkan kakinya kasar.
Setelah kembali dan membuka gerbang pintu rumahnya, Shilla lagi-lagi mencecar Arka dengan berbagai pertanyaan. "Habis kebut-kebutan, 'kan, lo? Jatuh, nggak? Patah tulang, nggak? Itu aspalnya nggak kenapa-kenapa, kan, waktu lo main kebut-kebutan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Letter
Teen FictionIni kisah Arka, Rayhan, Jevan, dan Rendy; empat orang sahabat yang dipertemukan semesta, dalam perjalanan mereka menuju dewasa. Tentang mereka yang mengejar mimpi, mencari cinta, dan mempertahankan persahabatan. Hingga mereka menemukan seseorang yan...