Akhirnya tiba hari yang sudah ditunggu-tunggu oleh Arka dan teman-teman seangkatannya di SMA. Acara perpisahaan ini memang selalu menjadi sesuatu yang paling diantisipasi oleh pelajar tingkat akhir. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, kali ini acara perpisahan dan pengumuman kelulusan sekaligus pelepasan siswa diadakan dalam satu hari. Jadi, wali murid ikut hadir bersama para siswa saat pengumuman kelulusan di pagi hari hingga acara pelepasan siswa selesai. Setelah itu baru diadakan perpisahan siswa yang dimaksudkan sebagai perayaan kelulusan dan kenang-kenangan sebelum mereka membuka lembaran hidup baru, berpisah menuju jalan yang mereka pilih demi meraih hal yang telah mereka impikan.
Tetap kekeh dengan keputusannya semalam, Arka memilih tidak mengundang orang tuanya untuk hadir. Ia benar-benar meminta tolong Tante Riska—Bundanya Jevan—untuk menjadi walinya. Arka cuek saja menjadi satu-satunya yang tidak datang bersama orang tuanya. Menurutnya, bukan hal penting dengan siapa ia menerima pengumuman itu. Ia hanya berharap dapat lulus dengan nilai yang tidak memalukan.
Nyatanya, baik Arka maupun ketiga sahabatnya mendapat nilai yang memuaskan. Bahkan Jevan berhasil meraih predikat sebagai siswa yang lulus dengan nilai tertinggi di sekolah mereka. Bukan sesuatu yang mengejutkan mengingat Jevan tidak pernah tidak masuk ke dalam lima besar ranking paralel.
Sejauh ini, acaranya berjalan dengan lancar. Pengumuman kelulusan dan pelepasan siswa sudah selesai setengah jam yang lalu. Semua wali murid juga sudah pulang. Tersisa acara perpisahan yang akan diramaikan dengan penampilan-penampilan dari mereka yang sudah mengajukan diri untuk mengisi acara.
Keempat orang sahabat itu mengobrol ringan sambil duduk di kursi yang disediakan.
"Kayaknya gue mending nembak doi sekarang aja deh," kata Rayhan dengan mata yang terfokus pada gadis yang saat ini sedang tertawa tidak jauh dari tempatnya duduk.
"Lo beneran mau nembak dia?" Arka pikir Rayhan tidak akan benar-benar menyatakan perasaannya saat acara ini masih berlangsung.
"Beneran, lah. Ngapain gue bercanda?"
"Dia cewek baik-baik, Ray. Terlalu baik buat jadi korban ketidakseriusan lo."
"Astaga ... berapa kali gue harus bilang kalo gue serius?" Rayhan menggeram, kesal dengan ucapan Rendy. "Gue beneran suka sama dia. Bukan main-main doang."
"Gue bilang gitu karena lo kelihatan belum yakin sama perasaan lo sendiri. Dia juga nggak kelihatan kayak naksir lo gitu. Takutnya nanti kalian berdua malah nyesel." Rendy akhirnya menjelaskan.
Arka dan Jevan mengangguk menyetujui. Apa yang Rendy katakan turut menyuarakan isi kepala keduanya.
"Iya, kemarin-kemarin gue emang sempat ragu. Tapi sekarang gue udah yakin. Gue malah takut nyesel kalo nggak ngungkapin ke dia. Belum pernah gue sebegininya ke cewek, kan?"
Benar. Ketiganya pun menyetujui. Seorang Rayhan belum pernah segalau ini untuk urusan perempuan. Sebelumnya ia tidak pernah ambil pusing kalau naksir seseorang. Kalau suka, ya bilang. Begitu prinsipnya setiap ada gadis yang ditaksirnya. Tapi kali ini, seorang Rayhan mau menunggu sampai satu semester demi seorang gadis hanya karena tidak mau terlalu gegabah dan berujung ditolak nantinya. Padahal ada banyak gadis yang bersedia kapan saja menerima pernyataan cinta darinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Letter
Teen FictionIni kisah Arka, Rayhan, Jevan, dan Rendy; empat orang sahabat yang dipertemukan semesta, dalam perjalanan mereka menuju dewasa. Tentang mereka yang mengejar mimpi, mencari cinta, dan mempertahankan persahabatan. Hingga mereka menemukan seseorang yan...