Hampir setengah jam, Rendy duduk di salah satu kursi di perpustakaan pusat kampus sambil memainkan game di ponselnya. Berarti, sudah selama itu pula ia menunggu partner kerjanya yang masih belum kelihatan batang hidungnya. Salahnya juga, sih, yang datang lebih awal dari waktu janjian.
Kemarin, Aruna memang sudah bilang kalau dia mungkin bakal ngaret, tapi kalau benar mau terlambat dari waktu janjian seperti ini, alangkah baiknya cewek itu memberi kabar atau sekadar mengirim pesan singkat, bukan? Bukannya Rendy berharap di-chat Aruna, ya, tapi kalau tahu akan terlambat, Rendy, kan, jadi tidak perlu langsung ke perpustakaan. Ia bisa jajan atau makan siang dulu tadi.
Ya sudahlah, daripada waktunya terbuang sia-sia untuk menggerutu tidak jelas, mendingan Rendy mulai mengerjakan saja lebih dulu. Dibukanya softfile proposal kemarin melalui laptop miliknya. Sebelum menyusun MoU, ia menyempatkan untuk memeriksa kembali proposal itu.
Baru melihat sampulnya saja, Rendy sudah terkagum dalam hati. Salut dengan mereka-mereka yang menyusun hingga mendesain proposal ini jadi sekeren ini. Sebagai anak yang menekuni bidang desain grafis, Rendy akui, eksekusi desain proposal ini memang bukan kaleng-kaleng. Tapi kalau dipikir lagi, untuk acara sebesar ini, kalau desain proposalnya saja murahan, memang ada perusahaan yang mau melirik?
Oke, cukup. Sekarang saatnya bekerja. Rendy membuka browser di laptopnya untuk mencari beberapa referensi yang setelah ia lihat-lihat, ternyata cukup sederhana. Cowok itu jadi berpikir, kalau "cuma begini", mengapa kakak tingkatnya itu tidak langsung membuatkan saja sekalian? Malah menyuruh adik tingkatnya dengan alasan, "Biar kalian kerja juga." Hah, memangnya mendistribusikan proposal dan merayu calon-calon sponsor itu bukan kerja?
Rendy sedang bolak-balik dari peramban ke aplikasi pengolah kata saat seseorang menduduki kursi di sebelah kirinya, membuat pemuda itu menjeda kegiatannya untuk melirik ke samping. Setelah memastikan itu adalah orang yang sedari tadi Rendy tunggu, ia menengok jam yang melingkari pergelangan tangannya.
"Sorry, Ren ... gue makan dulu tadi. Gue nggak bisa telat makan soalnya."
Rendy kembali mengalihkan pandangannya ke laptop. "Dua puluh menit," desisnya.
"Ya, maaf. Sorry juga tadi gue cepet-cepet makan sampe lupa mau ngabarin lo. Lo udah di sini dari jam dua belas?"
"Dari sebelumnya malah."
"Hah, serius? Kirain lo bakal ngaret juga soalnya kemarin gue bilang gitu." Perempuan itu segera mengambil laptop dari tasnya. "Lo udah mulai bikin? Gue bagian ngapain, nih?"
"Lagi."
"Hah, apanya yang lagi—oh, udah lagi bikin?" Aruna mengintip layar laptop cowok di sampingnya.
"Hm."
"Sini gantian aja. Eh, lo udah makan belom?"
Yang ditanya hanya menggeleng, masih fokus dengan gadget di hadapannya. Mana sempat?
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Letter
Teen FictionIni kisah Arka, Rayhan, Jevan, dan Rendy; empat orang sahabat yang dipertemukan semesta, dalam perjalanan mereka menuju dewasa. Tentang mereka yang mengejar mimpi, mencari cinta, dan mempertahankan persahabatan. Hingga mereka menemukan seseorang yan...