Between Us 1

14.1K 1.7K 344
                                    





Apakah kalian pernah mengalami sebuah pergolakan jiwa yang membuat sel-sel kewarasanmu susah membedakan pada sumpit dan paku? Jika pernah, maka kalian membutuhkan banyak istirahat, atau melempar tumpukan tugas yang entah kenapa semakin beranak pinak seakan tidak memikirkan eksistensi rasa lelah, pusing dan juga putus asa yang mendadak hadir. Anne itu sebenarnya juga tidak menyukai tugas yang banyak.

"Jadi, kau sudah mendapatkan responden untuk penelitianmu?"

Pertanyaan itu sukses membuat Anne mengembuskan napasnya, percikan frustasi seketika menghampiri kening, dan ia mendorong bibirnya sembari menjingkatkan pundaknya singkat.

"Secara harfiah belum," jawab Anne tanpa semangat, sampai tangan itu malas untuk menumpuk buku psikoanalisis, "Cukup susah mencari orang yang bersedia untuk menjadi subjek penelitiaan," jedanya lalu duduk, menatap Hera yang tengah menyedot teh kemasan dari vending machine, "Ya, mungkin memang banyak mahasiswa lain yang bisa, tetapi tidak semua orang bersedia mengakui kalau membutuhkan bantuan."

Hera pun menyetujui hal itu, menjadi mahasiswa psikologi tingkat akhir memang memiliki tantangan sendiri jika menyangkut mengenai tugas bear kelulusan. Terutama di kampus keduanya, bahkan Anne merasa jika penelitian ini sama saja dengan sebuah tantangan tanpa belas kasihan.

Musim panas tahun ini terasa berbeda, dan para mahasiswa begitu menikmati lapangan hijau dengan bermain rugby atau duduk-duduk menggelar tikar di bawah rindang pohon.

Anne mengikat rambut berwarna coklat chesnut itu tinggi saat bertanya. "Apa kau sudah mendapatkannya?"

Hera—gadis dengan tinggi rata-rata dan bermata hitam itu tidak langsung menjawab, malah bergumam sejenak hanya untuk menunjukkan sebenarnya Hera tidak seyakin itu.

"Aku masih mencoba meyakinkan Profesor, tapi kurasa aku bisa melakukan penelitian dengan judul yang sekarang."

Anne mengangguk paham lalu berkacak pinggang singkat. Oke, jawaban itu sebenarnya cukup melegakan untuk didengar, dan sepertinya Anne memang harus berusaha lebih baik lagi untuk meyakinkan dosen pembimbingnya jika judulnya memang layak untuk diperjuangkan. Bukan berarti penelitiannya tidak berkualitas, hanya saja judulnya memang bisa dikatakan menantang dan membutuhkan banyak kesabaran.

"Jika aku tidak mendapatkan kejelasan dan jalan keluar sampai Minggu depan, mungkin aku akan mempertimbangkan untuk menggunakan judul keduaku."

Ya, itu adalah rencana yang Anne tanamkan dalam kepala. Hera juga nampak mendukung saja sebelum gadis itu memilih untuk pulang terlebih dahulu. Sneaker berwarna putih Anne menapak pada selasar gedung, melewati beberapa mahasiswa yang memiliki kepentingan sama di lantai lima ini. Mata coklat Anne melirik jarum jam pada pergelangan tangan, pukul dua siang dan ia merasa beruntung memilih kemeja satin berwarna putih karena memberikan kesegaran angin kala ia keluar dari pintu.

Benar-benar sinar matahari yang cukup jahat, sampai Anne bisa merasakan keringat itu turun geli pada tengah dadanya. Dia harus cepat-cepat mandi. Halte tidak terlalu ramai, dan ia masih harus menunggu sepuluh menit lagi sebelum bisnya tiba. Barangkali ekspresi Anne memang bisa mengundang banyak orang untuk merasa penasaran, atau parasnya yang menegun tidak jarang membuat orang menoleh penasaran. Kenapa pupil matanya memiliki warna perpaduan coklat dan abu-abu muda nan menawan. Hingga seseorang terlihat mendekat mengenakan setelan rapi, membawa satu buah tas kerja lalu melempar senyum.

"Selamat siang, apakah benar kau Jeon Anne?" tanya pribadi itu dengan sedikit tertahan, ia sejenak melihat ponsel yang tergenggam lalu melihat Anne kembali untuk memastikan.

"Benar," jawabnya tanpa bisa menutupi rasa bingung dan antisipasinya, ia sejenak berdehem karena Anne berpikir aura pria ini terasa berwibawa, "Apakah saya mengenal anda? Apakah ada yang bisa saya bantu?" Anne berpikir, barangkali ia tengah melupakan sesuatu?

Resilience-Between Us ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang