Between Us 12

4.4K 1K 845
                                    



*Some part may contain trigger warning for others.

Pengennya di sini ada challenge juga. Kalau tembus 500 komen baru aku up next partnya yaa. Baca komen itu emang penyemangat banget! Jadi terima kasih buat yang selalu ramein lapak komen cerita-cerita aku! Kalian luar biasa

Voter ke berapa nih?







Ketika menonton film-film romantis, selain merujuk pada isi ceritanya, tidak jarang Anne juga memerhatikan karakter yang bermain di dalamnya. Seperti wanita-wanita yang didandani sebegitu rupa, mengenakan gaun malam yang mahal, lalu kakinya dibalut dengan sepatu tinggi bersol merah yang menawan—setidaknya.

Detik ini, Anne tidak menyangka jika sekarang ia benar-benar terlihat...entahlah, terasa tidak biasa. Gaun hitam ini menyempurnakan penampilannya, aksen gemerlip bak bubuk peri baru saja ditaburkan di atasnya tidak kalah menarik tatkala lampu mendirus. Sedikit kikuk berjalan di atas sepatu hak tingginya, Anne sebenarnya bertanya-tanya apa yang tengah ia perjuangkan sampai menyiksa jemari kakinya seperti ini.

"Kau terlihat cantik."

Pujian itu seolah tidak terpaksa meluncur, namun Anne juga menangkap jika Vincent sengaja melakukannya. Bahkan Vincent tanpa sungkan sudah meremat pinggang Anne dengan lembut, seolah sosok yang berdiri di depannya dengan perasaan waspada setengah mati, memang seharusnya berada di detik-detik saat ini. Vincent menyusuri lengan polos itu dengan jemari panjang yang dingin permukannnya.

"Aku juga sudah memesan kamar yang luas untuk kita berdua," katanya gamblang sampai rasanya Anne hampir menggelindingkan bola matanya. "Aku yakin kau tidak akan masalah."

"Itu jelas sebuah masalah, Vincent." Anne menjawab cepat. "Aku menyetujui ini karena—"

"Oke, oke." Vincent memotong terlebih dulu, kedua tangannya terbuka di depan dada. "Aku tahu." Vincent mengambil napas. "Tapi aku akan tetap menawarimu. Karena aku memang orang yang seperti itu, dan aku tetap berpikir hal ini bukanlah sebuah masalah untukmu."

Bahkan ini masalahnya lebih bermasalah lagi. Anne jelas tidak menyetujui gagasan Vincent sayangnya ia juga tidak memiliki pembelaan yang lebih kuat. Pada akhirnya, Anne bersikap seperti dahan yang terjatuh di atas arus sungai, mengikuti lenggak air dan berharap bisa memutuskan sesuatu tatkala sampai pada muara sungai. Kendati beberapa bisikan dan cekikikan cekikikan tipis pegawai toko baju mewah ini yang tanpa sengaja terdengar—ya ampun, mereka terlihat cocok—tidak membuat Anne merasa tersanjung sama sekali.

Hahaha. Cocok, ya? Sejujurnya Anne tidak menganut konsep opini sederhana hanya dari penilaian singkat sebuah tangkapan mata. Kecocokan itu lebih dalam dari pada itu. Ah, sial. Seandainya semua ini bisa diselesaikan dengan cepat, Anne tentu tidak perlu mengalami ini semua. Sayangnya, Anne tidak memiliki kuasa apapun.

"Seperti perjanjian awal, Vincent." Anne menyorot cukup tegas, berusaha mengisi paru-parunya dengan udara baru. "Aku menyetujui ajakanmu karena kau berjanji akan mengatakan beberapa hal atau mungkin kebenaran padaku."

Vincent menaikkan satu alisnya, menggaruk pelipis dengan jari telunjuk sembari melipat bibirnya ke dalam. Sekarang matanya menyipit tipis. "Em...apakah yang ingin kau ketahui sepenting itu, Ann?" jedanya, dahinya mengerut lebih dalam. "Hanya makan malam dan bersenang-senang denganku saja belum cukup untukmu?"

"Bahkan aku tidak tahu kenapa harus melakukan semua ini sejak awal."

"Jangan begitu." Vincent tiba-tiba mendaratkan ibu jarinya di atas bibir Anne. "Aku tahu sebenarnya kau menikmati ini, iya, kan?" Vincent mengikis jarak, bibirnya hampir-hampir bersinggungan dengan ranum Anne. "Kau tidak bisa menolaknya, Ann. Karena memang seharusnya seperti itu."

Resilience-Between Us ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang