Kuat

5.4K 512 84
                                    


Dandelion kembali

Maaf  jika banyak typo 🙏

Jangan lupa tinggalkan jejak jika kalian suka 😊


Happy reading

Enam jam telah berlalu semenjak operasi Fero selesai, Fero sudah dipindahkan ke ruang rawatnya dan masi belum sadarkan diri.

Diana menggenggam lembut tangan Fero sesekali menciumnya, Fahri mengusap rambut anaknya itu dengan penuh kasih sayang, Faro duduk termenung di sofa entah apa yang dipikirkan.

“Eungh.”

Lenguhan berserta mata dibuka perlahan Fero membuat Fahri dan Diana menarik bibir mereka ke atas.

“Anak Ayah akhirnya bangun juga.” Fahri mengecup singkat keningnya Fero.

“Ada yang sakit?” tanya Diana, dijawab gelengan Fero.

“Haus,” ucap Fero serak.

Diana mengambil sebotol air di atas meja yang terdapat pipet di dalamnya, membantu Fero minum.

“Udah Bun.” Diana tersenyum,  meletakkan botol minuman itu ke tempatnya semula.

“Kak,” panggil Fero kepada sang kembaran yang tidak menyadarinya sadar.

Fahri berjalan mendekati anak sulungnya, menepuk pelan pundak kokoh itu.

“Eh Ayah, ada apa?"

“Itu Adik kamu manggil Kak.”

Faro langsung melihat Fero yang sudah sadar, dengan langkah cepat Faro menghampiri kembarannya. “Lo udah sadar?”

Fero memutar bola matanya malas. “Nggak lihat apa? Lagian gue panggil-panggil, lo nya aja nggak nyahut,” jawabnya dengan suara lemah.

“Ya maaf, gue nggak dengar. Jangan ngambek dong,” bujuk Faro, menggelitik dagu kembarannya.

Fahri dan Diana menahan gemas, jarang-jarang si kembar semanis ini.

“Idih ngapain gue ngambek, kayak anak kecil aja,”  ucap Fero kesal.

“Ya nggak kecil, cuma kayak bocah.” Faro mengacak rambut Fero, tapi sang empu malah menepisnya. "Gue periksa dulu.”

Fero menurutinya, baru kembarannya melakukan serangkaian pemeriksaan.

“Gimana kak?” Tanya Fahri, sesudah Faro melaksanakan tugas nya.

“Semuanya baik, tinggal Feronya harus banyak-banyak istirahat supaya cepat sembuh,” jelas Faro.

“Jadi gue bisa hidup normal kayak dulu?” tanya Fero semangat.

“Iya, sekarang Fero makan. Lapar 'kan belum makan seharian?” Fero mengangguk.

Diana mengambil bubur di nakas meja, menyuapkan bubur perlahan.

Keluarga Erlangga begitu bahagia menerima nasib baik yang menimpah mereka. Tanpa mengetahui  berdampak besar bagi keluarga Erlangga. Derai air mata tak berhenti-hentinya keluar, memikirkan kesayangan mereka berjuang untuk bertahan.

Fitri terus mengajak anak semata wayangnya berbicara, walaupun alunan EGK yang menjawab.

Banyak kabel-kabel menempel di badan anak semata Dande, belum lagi selang masuk ke dalam mulut Dande. Hati Fitri menjerit betapa tersiksanya anak malangnya.

Tak bisa ia pungkiri, walaupun Dande hanya anak angkat tetapi dia sangat menyayangi anak itu sepenuh hati layaknya orang tua semestinya.

“Adek takut ya Mamah marah? Sampai nggak mau bangun-bangun. Mama nggak marah Dek ... hiks mana mungkin Mama bisa marah sama kesayangan Mama. Bangun Dek ... hiks.” Tangis Fitri pecah, bersamaan alunan EKG saling bersahutan.

Kenzie, Hendra dan Putra hanya bisa menatap menatap sendu dari dinding kaca tembus pandang, mereka ikut menangis melihat sahabat mereka tertidur dengan banyak alat medis mengerikan.

“Kenapa nggak masuk ke dalam?” Atensi mereka teralihkan ke sumber suara.

“Om.” Mereka menyalami Reza satu-persatu.

“Adek pasti nunggu kalian, masuk aja. Ganti-gantian, ya?”

"kenapa bisa kayak gini, Om?” Tanya Putra mewakili mereka, mengalihkan pertanyaan Orang tua angkatnya Dande.

Mereka kaget mendengar kabar bawah sahabatnya tengah dirawat di rumah sakit dan tidak menyangka akan separah ini.

“Lemah jantung.” Sontak mereka terkejut mendengar dua kata tersebut.

“Om ... om nggak bercanda 'kan?” tanya Hendra mencari kebohongan di mata Pria dewasa di depannya.

“Sejak kecil Adek didiagnosa lemah jantung, awalnya tidak terlalu parah. Tapi ... waktu kecelakaan belasan tahun yang lalu, memperparah rusaknya Jantungnya Adek,” ucap Reza menguatkan hatinya.

Satu lagi Fakta besar berhasil membuat mereka merasa menjadi sahabat yang tidak berguna. Selama ini Dande sakit dan mereka tidak mengetahuinya. Mereka tersenyum kecut mengingat wajah Dande hidup seakan tanpa ada masalah, namun di balik itu ada banyak beban yang dia pikul. Ingin rasanya mereka  menyalahkan takdir yang selalu mempermainkan sosok rapuh itu.

Setelah percakapan mereka, Fitri keluar ruangan ICCU. Matanya memerah dan sembab pertanda lamanya menangis. “Eh ada kalian, kenapa nggak masuk?”

“Ini kami mau masuk, Tan,” ucap Kenzie mewakili kedua sahabatnya.

Kenzie dan Putra masuk terlebih dahulu karena maksimal dua orang yang boleh masuk ruangan ICCU.

Suara Nyaring EKG menyambut gendang telinga mereka. Kenzie dan Putra menitikkan air mata, untuk sesaat mereka terdiam memperhatikan Dande lelap dalam dunia damainya.

“Lo ngeprank kita 'kan? Bangun Dan, jangan becanda deh,” ucap Putra meneliti setiap jengkal tubuh kurus sahabatnya.

"Lo tahu? Disini banyak nunggu lo, bangun Dong. Lawan Dan, Gue tau lo kuat.” Kenzie meraba dada kiri Dande yang bergerak lambat.

Bagaikan sihir perkataan Kenzie, mata  yang ditunggu-tunggu akhir terbuka sayu.

“Dan lo dengar kita 'kan?” Kenzie mencondongkan wajahnya sedangkan Dande hanya menatap bingung.

Reza langsung masuk, mencium kening anaknya lama seakan takut  sosok itu pergi jauh, lalu mulai memeriksa kondisi Dande. Sementara  Kenzie dan Putra keluar agar Reza tidak terganggu.

“Adek ... Papa senang Adek  mau bertahan,” ucap Reza direspon Dande lewat kedipan mata.

“Mau Mama? Mama ada diluar nunggu Adek dari kemarin.” Air mata Dande Jatuh, ternyata Mamanya masih peduli.

Reza melangkah kan kakinya menemui sang istri yang gelisah menunggunya keluar.

“Mas, Adek baik-baik ajakan? Aku mau ketemu Adek,” ucap Fitri penuh harap.

“Masuklah sayang, Adek cari mamanya,” ucap Reza menyunggingkan senyumannya.

Fitri masuk keruangan  ICCU bersama Reza menemaninya. Sesak mengikat hati Fitri perlahan mulai berkurang, mata yang ditunggu-tunggu terbuka sayu. “A ... dek ... anak Mama ... hiks ... maaf.”

Ingin rasanya Dande merengkuh mamanya, namun apalah daya, tubuhnya lemas luar biasa, selang di mulut  juga ikut membungkamnya.

“Sakit ya, nak?” Fitri mengusap pelan leher Dande sampai dada, dibalas geliatan ketidaknyamanan seakan mengadu apa yang dia rasakan.

“Sabar ya? Nanti  Papa keluarkan kalau kondisi adek sudah stabil,” ucap Reza yang  berada di samping Fitri.

Ada rasa bersalah di hati Dande menangkap raut lelah kedua orang tuanya. Sering dia merasa anak yang tidak berguna, hanya bisa membuat kedua orang tuanya khawatir.

TBC

Salam Manis Popon

Dandelion [OPEN PO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang