Hilir mudik pembeli dan pelayan disebuah café, tidak membuat sekelompok remaja terganggu mengerjakan tugas kuliah masing-masing. Mereka adalah Putra, Hendra dan Kenzie.
"Sumpah gila banget si dosen killer, nggak kira-kira ngasih tugas sebejibun ini," keluh Kenzie.
"Sama Zie, Dosen gue kayak gitu juga. Heran deh, dendam apa sih mereka? Demen banget liat kita menderita," sambung Hendra lesu.
"Seharusnya kalian bersyukur, bisa mengenyam perkuliahan. Kuliah memang kayak gitu, jangan sama kan jaman SMA, harus pandai-pandai lah," sela Putra santai. Menyesap secangkir kopi hangat tanpa mengalihkan fokusnya pada layar laptop.
"Emang dosen lo nggak ada yang killer killer-nya apa? Santuy banget gue perhatiin," heran Kenzie.
Putra menyisir rambutnya slow motion. "Ya adalah, malahan mungkin lebih banyak dari kalian. Tapi gue kan orangnya pinter apa lagi gue orangnya friendly, nggak akan susah deketin Dosen ataupun minta tolong sama teman sejurusan."
"Nyesel gue Ndra tanya sama dia," cibir Kenzie.
"Gue mau muntah deh, mual dengerin dia Zie," timpal Hendra. Memasang raut mualnya.
"Itu real ya, coba noh tanya teman seangkatan gue. Pasti mereka muja-muja gue."
"Iyain," ucap Kenzie dan Hendra bersamaan. Tak mau berdebat jika penyakit kepedean Putra kumat.
Mereka kembali kegiatannya, Hendra dan Kenzie sibuk berkutat laptop-nya sedangkan Putra bersantai-santai setelah tugasnya selesai. Memperhatikan kelakuan dua sahabatnya yang mengumpat tak ada habisnya.
"Kalau Dande masih hidup, pasti sekarang dia menggerutu mirip kalian," ucap Putra. Memecah keheningan diantara mereka.
Tangan Hendra dan Kenzie yang tadinya sibuk menekan tombol keyboard, mendadak berhenti. Mengalihkan pandangan ke arah Putra. Suasana berubah sedih mendengar Putra menyebut nama salah satu sahabat yang telah mendahului mereka.
Tatapan Hendra meredup, mendeskripsikan hatinya jika teringat sahabat kesayangan mereka. "Nggak kerasa ya, satu tahun lebih Dande meninggalkan kita."
Kenzie menghembuskan nafas, membuang sesak di hati. "Gue masih nggak percaya Dande pergi jauh."
"Bagaimana kalau hari sabtu kita jenguk Dande, udah lama kan kita nggak kesana?" Usul Kenzie.
"Gue setuju, kangen berat gue," seru Putra semangat.
"Sekalian kita ajak Elang, dia pasti senang banget tuh," timpal Hendra. Disetujui kedua sahabatnya.
Hubungan mereka dengan Elang sudah membaik, mereka tidak marah penyebab meninggalnya Dande adalah ulah orang tuanya Elang. Malah mereka merengkuh Elang dan menjadikannya sebagai sahabat, karena mereka mengerti bukan kesalahan Elang atas meninggalnya Dande.
"BTW tuh anak, akhir-akhir ini jarang banget ngumpul bareng sama kita," ucap Kenzie, meneguk ice moccacino-nya.
"Nggak tau juga ya, tapi kemarin gue sempat tanya gitu sama dia. Terus dia bilang lagi banyak kerjaan. Kalian tau sendiri 'kan, tuh anak banting tulang untuk mencukupi kebutuhannya," jelas Putra.
"Gue salut banget sama dia, kadang gue malu sendiri minta uang jajan sama Bokap. Sedangkan dia harus kerja dulu," ujar Kenzie.
"Sama Zie," timpal Hendra.
Dilain tempat, orang yang mereka bicarakan sedang berdiri tegap di depan gedung yang dikelilingi tembok menjulang tinggi. Masuk ke dalam, melakukan serangkaian prosedur pemeriksaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion [OPEN PO]
Teen FictionBahagia Satu kata berjuta makna, salah satunya mendapatkan kasih sayang keluarga. Mungkin itu terlihat sederhana tapi tidak untuk dirinya. Disaat seorang anak lahir disambut bahagia namun berbeda untuknya. Dia ada tapi tak dianggap, dia ada tapi tak...