Dandelion kembali 🙃
Pada nungguin, ya?🙂
Siapin tisu dulu sebelum baca🤧
Jangan lupa tinggalkan jejak jika kalian suka
Happy reading
Sirine dua mobil ambulance memecah keheningan malam, memberikan ketegangan setiap orang yang berada di dalamnya.
Satu ambulance yang berada di belakang dibuat kalang kabut dengan kondisi pasien semakin menurun. Perawat yang bertugas terus menekan dada Dande, sedangkan perawat yang berada di depan kepala Dande terus memompa ambubag yang terpasang apik di wajah pucat nan pasih itu.
Nyaringnya suara EKG menunjukkan garis lurus membuat Fahri tidak bisa membendung air matanya.
“Anak Ayah pasti kuat ... hiks.” Fahri mengecup tangan kurus Dande, menyalurkan kehangatan, walaupun tak mampu memberikan kehangatan.
Anak yang seharusnya diberikan kasih sayang, harus terhempas akibat memilih keegoisan. Kebencian membutakan segalanya, hingga tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Mengantarkan apa yang dinamakan penyesalan.
Sementara ambulance yang berada di depan tidak setegang ambulance yang di belakang. Dimas dan Elang yang menemani Fero, khawatir memikirkan keadaan Dande jauh dari kata baik. Mereka juga ingin menemani Dande, tetapi Fahri tidak memperbolehkannya, alhasil merekalah menemani Fero.
Kedua ambulance itu tiba di rumah sakit. Brankar Fero dan Dande didorong ke ruangan IGD secepat mungkin.
Tubuh Fahri merosot bertumpukan pintu yang tertutup rapat, menatap kosong baju kemeja putihnya yang terkena muntahan darah Dande sewaktu dalam perjalanan. Fahri tidak pantas disebut sebagai orang tua. Seharusnya dia menyayangi Dande seperti anak kembarnya. Hanya bisa berandai-andai semua ini hanyalah mimpi.
Dimas dan Elang duduk di kursi tunggu. Berdoa di dalam hati, berharap semuanya baik-baik saja.
Beberapa menit kemudian. Diana dan Tari datang. kekhawatiran mereka semakin menjadi-jadi saat Dimas menelepon bahwa mereka dalam perjalanan ke rumah sakit. Belum sempat bertanya, Dimas memutuskan panggilan. Hati Diana dilanda kecemasan, suaminya begitu berantakan.
“Aaa ... nak kita Diana ... hiks ... kebakaran … darah ... hiks.” racau Fahri. Menangis sesenggukan menyuarakan ketakutan.
“Fe ... Ro?” tanya Diana, diangguki Fahri.
“Dande ... hiks," sambung Fahri.
Deg
Satu nama sukses meremukkan hati Diana, air matanya jatuh tak bisa berkata-kata. Dimas dan Tari terdiam, menyesal terlalu lama mengulur waktu meminta maaf kepada Fahri dan Diana. Seandainya mereka datang lebih cepat, pasti Dande tidak akan menjadi korban kesalahpahaman.
Tak lama setelah itu, Reza datang mendapat panggilan pasien kritis yang harus ditangani. Langkahnya terhenti, mengernyit bingung, kenapa Kakak Diana dan abang iparnya berada di luar IGD? Apa mungkin Fero yang akan dia tangani?
Tapi bukan itu terpenting sekarang, ada nyawa yang harus diselamatkan. Mengenyahkan firasat buruk, masuk ke ruangan IGD.
Di lain tempat. Kenzie, Hendra dan Putra mendapat kabar dari Elang bahwa Dande sekarang berada di rumah sakit. Mereka langsung pergi ke sana. Setibanya di rumah sakit, mereka berlarian menyusuri koridor menuju ruang IGD.
Fitri yang awalnya ingin keluar mencari udara segar, tidak sengaja melihat mereka. Merasa penasaran, apa lagi raut kekhawatiran ketiga sahabat anak semata wayangnya. Mengikuti arah tujuan mereka, sampailah di IGD. Seketika perasaan Fitri tidak enak, mendengar Diana menangis menyebut nama anak semata wayangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dandelion [OPEN PO]
أدب المراهقينBahagia Satu kata berjuta makna, salah satunya mendapatkan kasih sayang keluarga. Mungkin itu terlihat sederhana tapi tidak untuk dirinya. Disaat seorang anak lahir disambut bahagia namun berbeda untuknya. Dia ada tapi tak dianggap, dia ada tapi tak...