____________________________________
Untuk Nagendra
Saya tak pernah menyangka, tak pula punya insting mengenai hadirmu dalam hidup saya.
Saya kira kita hanya manusia yang terlibat adegan dalam bingkai yang sama.
Nyatanya kita diberi naskah untuk bersinggungan dalam drama kita sendiri.
Meski singkat namun membekas, cukup memberi tamparan keras bagi saya yang tak peduli dengan hidup manusia lain.
Saya tak menyesal mengenalmu.
Tak pula lupa akan amanahmu.Dari Radmila yang menyapamu lewat doa.
____________________________________Embun membawa sejuk menyentuh telaga. Dinginnya masih terasa meski mentari hangat telah menyapa. Kicau burung temani diri dari sunyinya suara manusia. Suasana lembah kian ramai oleh dersik yang menyapa rerumputan. Perlahan namun pasti mentari menerobos celah lebatnya hutan.
Diriku sempat bermimpi bertemu denganmu di sini. Senyum hangatmu bahkan mengalahkan sang surya. Jelas ada rindu yang datang ketika memori tentangmu kembali berputar. Namun engkau tak datang menemuiku seperti di mimpi waktu itu.
"Mila, ayo pulang. Hari beranjak siang. Nanti Mbah Nur nyari kamu."
"Iya, Mbak."
Ke mana aku harus menyampaikan rasa rindu ini padamu? Waktu tak cukup bisa untuk buatku rela melepas sosokmu.
"Dari mana, Nduk?" Wanita tua itu ibunya ayahku.
"Mila ke lembah sebentar, Mbah."
Wajah tuanya mengeras. Mbak Aida yang menemaniku tadi bergegas masuk rumah.
"Apa lagi yang kamu cari di sana?"
"Nggak ada, Mbah. Mila hanya ingin melepas penat."
"Keluarga Wikrama akan datang hari ini dari kota."
Giliran wajahku yang mengeras. "Untuk apa mereka datang ke sini?"
"Ini kampung halaman mereka. Lagipula Na--"
"Maaf, Mbah. Mila masuk dulu."
Aku tahu ke mana pembicaraan Mbah Nur nantinya. Sungguh aku sangat paham, hanya saja hati ini enggan menerima kenyataan kalau bagian dirinya masih ada di sini. Di tanah ini.
Mereka datang menjelang waktu makan siang. Ada sepasang suami istri dan sepasang anak mereka. Kuintip dari jendela kamarku Mbah Nur menyambut mereka dengan tangan terbuka. Berpelukan layaknya keluarga yang jarang bertemu muka. Mbak Aida bergegas menyalami mereka juga. Mengawal mereka untuk masuk ke rumah.
Aku kembali ke dapur menghindari kerumunan suara mereka.
"Mila, kamu ini ya ada tamu ya disambut. Malah bengong di sini. Sana ke depan."
Mbak Aida menjawilku lantas mendorong tubuhku menjauhi area dapur.
Mereka menatapku berbinar seolah menemukan intan di balik sampahan.
"MasyaAllah Mila... Ibu kangen sekali, Nak."
Aku bergeming tak pula membalas pelukan eratnya wanita paruh baya ini.
"Kamu sehat kan, Nak?" Aku mengangguk dan tersenyum tipis.
"Kamu ndak punya mulut untuk bicara?" Mbah Nur menegur sikapku.
"Udah nggak apa-apa, Bu. Mungkin Mila masih kaget melihat kami di sini."
"Mbak Mila, apa kabar? Arum kangen banget sama Mbak." Gantian sekarang gadis remaja ini memelukku erat setelah ibunya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerita Pendek
Historia CortaKumpulan cerita pendek dengan tema acak. Banyak cerita dengan akhir terbuka. Terima kasih sudah mampir dan baca cerita ini. ------- Pictures by Pinterest Cover by Canva Salam, Liyayaa