Lima Belas

782 69 12
                                    

Menunggu Alan bukan lagi hal yang dinikmati oleh Erin, separuh hatinya berbicara untuk tidak meletakkan harapan yang amat tinggi, karena bisa saja Alan kembali beringkar, berbicara seolah dialah yang menjadi satu-satunya padahal ingat dengan hari sidang sempro Erin saja terlambat.

Tapi kenyataan yang ada justru terbalik, pria itu sudah tiba tepat di depan rumah Erin pada pukul delapan pagi. Dengan wajah sumringah juga senyum yang mengembang melihat wanita yang sangat dia rindui menyambut kedatangannya, Alan melangkah pasti sambil menenteng dua bungkus plastik berisi makanan.

"Aya." Sapanya menyebut nama Erin.

"Aku pikir abang enggak jadi datang."

Alan terdiam, bukan kalimat itu yang dia harapkan, bukan sama sekali. Saking gugupnya dia tidak bisa menjawab pernyataan menohok dari mulut Erin. Iya, dia mengakui kesalahannya, tapi semua yang dia lakukan sekarang juga upaya dia untuk menebus kesalahannya.

"Ibu sama Bapak kamu mana?"

"Eh ada Alan, beneran kamu rupanya. Ibu pikir suara mobil siapa hari minggu pagi udah datang."

Alan berjalan menyalami tangan ibu kekasihnya, saling berbasa-basi sejenak sebelum diperintah untuk masuk dan bertemu dengan Bapak Erin.

"Rin kok gak ngomong ke Ibu kalau Alan mau datang." Tegur Ibunya ketika Erin sedang berada di dapur membuat segelas teh hangat untuk tamu mereka.

Perempuan paruh baya itu masih berjalan sibuk mondar-mandir di dapur, mengeluarkan segala bentuk makanan yang bisa dia suguhkan untuk Alan. Sambil menunggu jawaban dari puterinya, tapi Erin masih diam. Menimbang-nimbang jawaban yang tidak menimbulkan kecurigaan.

Satu prinsip yang masih dia tanamkan, serumit apapun masalah percintaannya, selama Erin masih bisa mengatasi dia tidak akan melibatkan orang lain hanya untuk menambah keresahan.

"Lupa, buk. Lagian Bang Alannya jugak mendadak mau datang."

"Beneran?"

"Iya, buk." padahal bukan itu, hanya saja sejak beberapa kejadian mengganjal yang mengombang-ambing hubungannya, Erin mengamalkan satu hal bahwa dia tidak bisa terlalu membangun harapan yang tinggi dengan Alan.

Siap dengan satu gelas teh hangat Erin berjalan menuju ruang tamu memberikan minuman teh rasa apel itu untuk Alan disusul dengan Ibu yang repot-repot menyajikan makanan untuk tamu tidak diundang ini.

Berdua, mereka memang butuh waktu berdua berbicara tentang resah juga gelisah yang tak kunjung rendam. Untungnya kedua orangtua Erin sadar diri dan memberi space untuk mereka berdua.

"Abang ada salah ya?" tanya Alan langsung.

Erin memejamkan matanya, menarik nafas dalam sebelum berbicara salah satu upaya pengendalian diri dari emosi yang menggebu-gebu, "Mau jujur?"

Alan mengernyit satu alisnya naik keatas, "Jujur apa, Ay?"

"Aku gak mau ribet, kalau bukan kamu bilang enggak, kalau memang kamu bilang iya." Alan mengangguk meskipun dia tidak mengerti, tapi ini juga yang Alan sukai dari Erin. Wanita ini tidak terlalu banyak memberi kode dan bahasa-bahasa alam yang sulit dimengerti kaum hawa.

Erin lebih suka membicarakan langsung topik masalahnya, dan demi apapun Alan mengakui jika sifat Erin yang berterus teranglah yang menjadi salah satu alasan masih terjaganya hubungan mereka.

"Aku enggak suka orang bohong, dan abang juga gak suka kalau aku bohong." Lagi Alan mengangguk.

"Minggu lalu, hari senin. Coba ingat abang kemana?"

"Kerja, Ay. Apalagi?"

"Sampai jam berapa?"

"Tujuh."

Salah RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang