Dua

2.1K 109 7
                                    

"Tadi aku masak ikan asam manis sama capcai campur tofu loh, bang."

"Mau."

"Tapi habisi dulu."

"Ck. Nano nano gini rasanya, Ay."

"Yaudah gak usah makan. Ini biar aku minum, abang minum obat aja kalau gitu."

Erin tau titik kelemahan Alan. Dia tidak pernah bisa menolak tawaran makan dari olahan tangan pacarnya. Selalu begitu, setiap ancaman dengan iming-iming makanan menjadi titik terlemah Alan untuk Erin.

Erin tersenyum melihat Alan dengan ekspresi yang susah dideskripsikan dengan jelas tapi pastinya pria itu sedang merasakan rasa campur aduk dari campuran jahe, serai, madu, dan perasan air lemon.

Jika ada yang bertanya kenapa Erin membuatkan infused water untuk Alan, maka jawabannya sederhana, Alan mengeluh sakit kepala. Dan minuman racik itu bekerja optimal di tubuh Alan, terbukti dengan berkurangnya tingkat pucat wajah Alan.

Sebenarnya Alan masih tinggal bersama orangtuanya, keduanya masih saling memberi perhatian kepada putra sulung mereka. Tapi Alan sendiri tidak pernah nyaman dengan omelan wanita paruh baya yang telah melahirkannya, omelan yang selalu berlebihan setiap kali Alan mengeluh sakit kepala, atau sekedar pusing.

Erin bisa memaklumi, baginya itu hanya bentuk kasih sayang seorang Ibu. Bahkan disaat-saat jauh omelan dan ocehan Ibu adalah salah satu dari banyaknya hal yang akan kita rindukan. Dan semakin wajar ketika melihat putranya sakit hanya karena kecerobohan sendiri, kelalainnya akan jam makan.

Alan memang hard worker, tapi bukan si workaholic dia hanya berusaha untuk mengeluarkan usaha terbaik hingga sering kali melewati jam makan siang disaat hectic dan melupakan makan malamnya ketika badannya sudah terlalu cinta dengan kasur.

Enggak heran kalau Alan mempunyai riwayat typus mengingat track record pola makan dan tidurnya yang cukup payah.

"Ih keren, sekali minum langsung habis setengah. Minum sekali lagi ayuk demi sepiring nasi." Ucap Erin sambil terkikik geli, berulang kali melihat mata Alan menyipit merasakan sensasi kecut, mengecap karena rasa pedas dari jahe dan serai.

"Gak sanggup lagi ah, minumnya nanti aja lagi ya, Ay. Sekarang mau makan."

"Boleh lah, tunggu ya."

Sesuai dengan kesepakatan serta asas sadar diri Erin bersama temannya yang lain tidak pernah memberikan akses bebas untuk pria keluar masuk area mereka. Berlaku untuk pria manapun termasuk Alan. Tidak perduli seberapa lama hubungan mereka terjalin, karena waktu tidak bisa menjadi jaminan munculnya hal-hal diluar batas.

Sebagai anak rantau mereka cukup sadar diri sekaligus mawas dengan istilah numpang hidup di tanah orang. Jadi demi menjaga nama baik, juga demi terhindar dari bisikan tetangga, tidak ada salahnya mematuhi aturan tersebut.

Salah satu resiko terlahir di Negara dengan junjungan adat istiadat, kesepakatan tak bertinta turun temurun membuat masyarakatnya harus sadar dengan gaya hidup yang tidak bebas dan lebih tertata. Tidak ada yang salah, tentu. Selama tidak merugikan kenapa tidak?

Erin keluar dengan sepiring nasi beserta lauk pauk sedang tangan kirinya memegang segelas air putih.

"Have a nice dinner, abang." katanya setelah Alan menerima piringan nasi dari tangan Erin.

"Thank you, kamu udah makan?" Erin mengangguk.

Sembari melihat betapa lahapnya Alan menghabisi sendok demi sendok tumpukan nasi Erin mengingat satu hal, cara Alan memperlakukan Erin. Tidak ada yang istimewa, pria itu juga tidak bisa dianggap pria nan romantis, tapi dia berusaha ada setiap Erin butuh.

Salah RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang