Dua Belas

668 69 18
                                    

Setelah memastikan Erin dan adiknya Tiara tiba dengan selamat Alan rela putar balik untuk menyelesaikan apa yang sudah ditahannya sejak tadi.

Dia rela putar balik atas nama Ardi padahal Calya lah orang yang akan ditujunya. Sudah sejak tadi Alan ingin menyeret wanita itu keluar dari mejanya bersama Erin, tapi tidak mungkin.

"Maksud kamu apa?" tanya Alan begitu dia masuk ke dalam apartemen Calya. Iya, lelaki itu sudah punya akses kartu sendiri yang langsung diberikan Calya, pun para penjaga sudah hafal siapa Alan dan siapa yang akan dia kunjungi. Bagaimana tidak hafal jika nyaris setiap hari Alan selalu datang bersama Calya.

"Apanya?" tanya Calya balik dengan santai, dia tampak tidak merasa bersalah sedikipun. Iya dia tidak salah, tapi tingkahnya yang salah dan menjijikkan.

"Kamu," tunjuk Alan tepat didepan wajah Calya, "untuk apa datang?"

"Apa aku harus buat alasan yang sama?"

Alan berdecih, "Aku tau kamu bohong."

Calya tidak menjawab dia justru berjalan kearah dapur, menuangkan segelas air dingin dan kembali membawanya untuk Alan, "Hebat banget kamu sengaja matiin hp kamu demi dia. Kamu pikir cuma dia aja pacar kamu iya?"

"Aku udah dua minggu sama kamu, dan satu hari sama Aya .."

"Sebut terus panggilan sayang kamu itu didepanku!"

"Terserah!" balas Alan malas kemudian langsung berdiri dan berbalik tanpa menyentuh minum itu sedikitpun. Tidak perduli seberapa murkanya teriakan Calya, dia tidak perduli. Yang dia minta hanyalah waktu satu hari dari empat belas hari yang sudah dia gunakan untuk Calya.

Bahkan Erin saja mengerti tentang kesibukan Alan karena pekerjaan walau kenyataannya bukan itu. Padahal Calya.. wanita itu jauh lebih tua dan harusnya lebih dewasa dibandingkan Erin yang masih sedang menyelesaikan masa pendidikannya.

"Satu langkah kamu jalan, saat ini juga aku telpon Erin kamu dan bilang kalau lelaki kesayangannya ini udah tidur sama aku!"

Maka saat itu juga Alan berhenti, jantungnya berdegup kencang, rahangnya mengeras menahan emosi pun dengan kukunya yang putih pucat menahan kepalan tangan yang saling menekan.

Langkahnya cepat dan pasti kembali menuju Calya, wanita itu tersenyum licik di depan pintu sambil bersedekap di depan dada. Dia tau Alan tidak akan pernah lepas dari genggamannya, Alan sudah menjadi miliknya.

Pasti dan tanpa ampun Alan menyeret tangan Calya masuk ke dalam meskipun dia sudah menjerit meminta dilepaskan, "Mau kamu apa hah!" jerit Alan murka.

"Simple, aku mau kamu ada untuk aku setiap aku butuh kamu."

"Kamu pikir kamu satu-satunya, kamu pikir Aya itu enggak berhak dapat perhatian aku, dari awal kamu bilang kamu terima resiko hubungan kita!"

"Aku bilang terima bukan berarti aku rela berbagi!" Balas Calya dengan intonasi yang tidak kalah tinggi.

Alan melotot tidak terima, dia menarik nafas siap menjawab pernyataan Calya tapi tidak, tidak semua emosi harus dibalas dengan emosi yang serupa, karena api tidak akan pernah padam dilawan dengan api. Dan dia tau, kalau Calya bukanlah Erin yang bisa berlaku lemah lembut.

"Demi Tuhan, Calya. Aku cuma izin satu hari untuk Aya setelahnya sama kamu." Ucap Alan sambil menjambak rambutnya pelan, dia benar-benar bingung membagi waktunya, sebingung perasaannya yang sudah mulai tidak karuan.

Dia ingin mengakhiri, tapi hatinya juga tidak bisa memilih. Dia ingin berterus terang akan hubungannya dengan Calya, tapi juga tidak tega melunturkan senyum manis dari pacar sahnya. Dia tidak menapik setiap rasa nyaman bersama Erin tapi dia juga tidak bisa meninggalkan kesempatan yang diberikan Calya.

Salah RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang